Nan Takana

Lets Against Interest and Debt

Borok Sistem Keuangan Moderen

satanicfinance.jpg

Judul : Satanic Finance, True Conspiracies

Penulis : A. Riawan Amin

Penerbit : Celestial Publishing

Cetakan : 2007

Tebal : xvi + 150 hal

SISTEM keuangan moderen yang diterapkan dunia saat ini adalah “sistem setan”, demikian A. Riawan Amin menyebut dalam bukunya Satanic Finance, True Conspiracies. Menurut Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia itu, sistem keuangan moderen adalah biang kerok kian bertambahnya jumlah orang miskin, pengangguran, inflasi dan pelbagai kekacauan moneter lainnya saat ini. Sistem ekonomi moderen memang tidak dibuat untuk memakmurkan umat manusia melainkan memiskinkan mereka demi mengabdi pada segelintir orang.

Membaca buku ini sungguh menyentak kesadaran karena Riawan membongkar pelbagai borok praktik keuangan moderen yang selama ini kita anggap benar dan final. Menurut Riawan, satanic finance itu hidup karena ditopang Three Pilars of Evil (tiga pilar setan). Pertama, fiat money –uang kertas. Kedua, fractional reserve requirement –cadangan wajib bank. Ketiga, interest –bunga.

Mari menyigi satu persatu. Pilar setan pertama adalah penciptaan uang kertas (fiat money). Menurut Riawan, dibalik pembuatan uang kertas terdapat muslihat. Uang kertas diciptakan dari ketiadaan karena penerbitannya tidak disokong emas atau perak. Uang kertas bernilai (dianggap bernilai) hanya karena diberi cetakan angka oleh otoritas moneter yang menerbitkannya. Sejatinya, ia hanya lembaran kertas biasa, tak beda dengan kertas cetakan lainnya.

Disebabkan terbuat dari ketiadaan, maka fiat money rentan spekulasi. Saat penciptaannya melebihi jumlah barang dan jasa yang bisa diproduksi maka inflasipun terjadi. Melalui fiat money pula, kolonialisasi moderen dijalankan. Tidak perlu serangan militer untuk menguasai negara lain.

Dolar AS, sebut buku ini, adalah contoh nyata bagaimana AS mudah menjajah dunia. Melalui sistem uang kertas, AS mempermainkan nilai mata uang negara-negara ketiga yang bersandar kepadanya. Penciptaan uang kertas adalah konspirasi. Pilar setan kedua, fractional reserve requirement (FRR) –kebijakan yang menempatkan bank sebagai pihak yang leluasa mengucurkan pinjaman (kredit) kepada deposan. Di sini, bank, termasuk bank sentral, ikut mencetak fiat money lalu menggandakannya.

Pilar kedua ini bertemali dengan pilar ketiga; interest (bunga) –praktik lumrah berikutnya dalam perbankan. Bunga dipungut oleh bank karena beberapa alasan: sebagai biaya servis atas transaksi pinjaman (utang) atau kompensasi mendapatkan hasil produktif bila uang tersebut diinvestasikan dalam bentuk lain.

Apapun alasannya, Taurat, Injil dan Al Quran melarang memungut bunga karena termasuk riba. Seluruh kitab agama langit itu sepakat, memungut riba (bunga) menyebabkan pelbagai kerusakan. Dalam praktiknya, bunga menuntut tercapainya pertumbuhan ekonomi yang terus menerus, kendati kondisi ekonomi aktual sudah jenuh. Bunga mendorong persaingan di antara para pemain dalam ekonomi. Bunga memosisikan kesejahteraan pada segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas. (hal. 48).

Bagaimana melawan satanic finance ini? Menurut Riawan, tidak perlu dilawan. Cukup beralih ke sistem lain yang sudah teruji yakni kembali menggunakan mata uang dinar emas dan dirham perak serta tinggalkan riba. Melalui dua hal ini maka “tiga pilar setan” akan runtuh dengan sendirinya. (hal. 112).

Dinar adalah koin emas murni seberat 4,25 gram; dirham adalah koin perak seberat 3 gram. Mata uang ini patut dikedepankan saat ini. Keduanya bernilai riil sebab terbuat dari logam mulia. Ini berbeda dengan uang kertas yang hakikatnya tak lebih dari kertas cetakan belaka. Potonglah sekeping dinar emas menjadi bagian-bagian kecil, seluruh bagiannya tetap berharga namun guntinglah selembar uang kertas maka ia sama sekali tak akan berguna.

Dinar-dirham juga stabil. Sejarah menunjukkan, mata uang ini tidak mengenal inflasi sementara fiat money adalah biangnya inflasi. Banyak kalangan menyebut dinar-dirham sebagai mata uang surga (the heavens currency). Maksudnya, bukan mata uang yang digunakan di surga melainkan sebagai penjaga keadilan yang menjadi salah satu ciri penghuni surga (hal. 107).

Dinar-dirham hanya sekadar nama. Esensinya, keduanya adalah logam berharga: emas dan perak. Sejarah menunjukkan, ribuan tahun peradaban manusia menempatkan emas dan perak sebagai alat moneter. Koin emas pertama kali digunakan 500 tahun sebelum masehi tatkala Raja Croesus berkuasa hingga ke era Julius Caesar dan Kaisar Nero. Dinar sendiri dikenal sebagai mata uang Byzantium dan dirham dari Persia. Belakangan, Nabi Muhammad SAW mengakuinya sebagai mata uang. Koin dinar emas dan dirham perak terakhir digunakan sebagai mata uang pada tahun 1924 seiring jatuhnya Kekhalifahan Osmaniah di Turki.

Tidak seperti buku ekonomi yang umumnya terkesan berat, membaca buku ini justru enteng. Dengan bahasa yang ringan, Riawan merangkai semua gagasannya melalui kisah suku Sukus dan Tukus yang hidup di pulau imajiner bernama Pulau Aya dan Pulau Baya. Melalui kisah mereka, alumnus Institut Teknologi New York dan Universitas Texas, AS itu mengajak pembaca menjelajahi sistem satanic finance, siapa koleganya, bagaimana trik dan dogmanya. Sepanjang penceritaannya, penulis buku laris The Celestial Management itu menghidupkan sosok setan sebagai tukang cerita. Lewat sudut pandang tokoh terkutuk inilah, Riawan membentangkan argumentasinya seputar carut-marut satanic finance.

Buku karya Director International Islamic Financial Market ini patut dibaca oleh siapapun yang menginginkan keluar dari kepengapan dan kekacauan sistem keuangan moderen saat ini. ***

Januari 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Setelah Kematian Filsafat

tn.jpg

 Judul  : Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans

Pengarang : Abdalhaqq Bewley dan Umar Ibrahim Vadillo

Pengantar : Zaim Saidi

Penerjemah : Nurhasan

Penerbit : Pustaka Adina

Tebal  : 126 + xxv

Cetakan 1 : Juli 2006  

MARTIN Heidegger (1889-1976) tentu bukan sosok asing bagi pembaca filsafat. Filsuf asal Jerman itu dikenal sebagai deklarator yang punya tudingan menohok tentang filsafat. Filsafat telah mati, katanya. The End of Philosophy dan Being and Time (1927) dua karyanya yang terkenal (ia telah menulis lebih dari seratus buku dan ribuan esai) dianggap sebagai risalah yang mengakhiri perdebatan filsafat yang berlangsung selama 2500 tahun.

Lahir dan tumbuh di Eropa, Heidegger akrab dengan pikiran para filosof Barat. Jamak dipahami, akar filsafat Barat bertumpu pada pengakuan terhadap rasionalitas, pembebasan akal dari ikatan moral serta pengagungan kekuasaan individu dalam menentukan nasib sendiri (eksistensialis). Berlandaskan prinsip rasionalitas, manusia mengukur segala hal tentang dirinya dan dunia disekitarnya dengan satu ukuran yakni, kebenaran ilmiah.

Penampilan awal ide-ide ini bersamaan dengan terbitnya Renaisans (Era Kebangkitan) di Florentine, Eropa, abad ke-16. Ide-ide sepanjang Renaisans itu selanjutnya melahirkan dominasi sains, dan berkembang, tak hanya di daratan Eropa namun menggenangi sekujur bumi. Dominasi berpikir sains ini mencapai puncak pada abad ke-18, ditandai dengan revolusi ilmu pengetahuan di Eropa yang kemudian melahirkan kosakata berikutnya, modernisme.

Namun Heidegger tak silau dengan pesona sains yang dibawa filsafat Barat. Sebagai filosof generasi terakhir, mantan Rektor Universitas Marburg Jerman ini malah merayakan pesta perpisahan bagi filsafat. Selain berkata, “filsafat telah mati”, Heidegger juga menelanjangi cara berpikir (filsafat) Barat dengan berujar, “ada cacat mendasar dalam cara berpikir kita”. 

Buku Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans ditulis oleh Abdalhaqq Bewley dan Umar Ibrahim Vadllo, merangkum pelbagai pandangan Heidegger tentang bangunan pikir filsafat Barat yang dianggap rapuh itu. Dasar-dasar filsafat dan ilmu pengetahuan Barat yang dianggap menggerakkan peradaban dunia lebih dari 400 tahun sejak masa Renaisans, sejatinya telah terbantahkan, bahkan runtuh, justru di tangan filosof dan saentis Barat sendiri. Melalui Heidegger, Bewley dan Vadillo sampai pada kesimpulan, filsafat Barat dengan segenap turunannya yang saat ini mendominasi bidang ekonomi, politik, sosial, perbankan, psikologi, teknologi, budaya, demokrasi, dan ranah lainnya, sesungguhnya tidak berdaya mengantar umat manusia (dan dunia) pada pencerahan kehidupan.

Buku ini merupakan dua risalah terpisah yang digunakan untuk dua kepentingan terpisah pula. Topik pertama, sisi gelap Renaisans, awal ditulis oleh Abdalhaqq Bewley sebagai bahan ceramahnya di sejumlah tempat di Inggris. Ahli fikih Islam ini mengajak kita melihat sejarah Renaisans serta dampak yang ditimbulkannya. Renaisans, menurut Bewley, awal penanda tersingkirnya Tuhan dalam kehidupan manusia di Barat (Eropa), sesuatu yang tidak terjadi sebelumnya. Dalam sejarah, Renaisans melahirkan pandangan humanisme-sekular yang mengikis peran religiusitas Yahudi-Kristen di Eropa. Filsafat Barat sebagai produk Renaisans, berpijak pada mitos kuno Prometheus, sosok yang terlepas dari tatanan teologis.

Bagian kedua, risalah yang ditulis oleh Professor Umar Ibrahim Vadillo yang membongkar pelbagai aspek filsafat Barat yang lahir dari rahim Renaisans itu melalui pendekatan Heidegger. Naskah Vadillo itu merupakan kompilasi bahan-bahan kuliah yang diberikannya di Dallas College, Cape Town, Afrika Selatan, tempatnya mengajar. Vadillo mencuplik banyak pendapat Heidegger yang menyerang pilar-pilar bangunan filsafat Barat itu.

Jadilah, membaca ini, kita dibawa pada pemahaman, betapa dunia saat ini telah didominasi oleh kekacauan berpikir. Menurut Heideger, filsafat Barat sama sekali tidak dapat memikirkan tentang kebenaran. Bahkan, sains yang diagungkan sebagai cara berpikir, sejatinya sama sekali tidak berpikir. Yang terjadi, menurut Heidegger, hanya seolah-oleh berpikir.

Lantas, bila filsafat telah mati dan dunia dijangkiti kekacauan berpikir, lalu apa yang bisa menggantikannya? Sayang, Heidegger tidak memberi jawaban atas pertanyaan ini. Sang filosof, justru meninggalkan masalah baru setelah menyatakan filsafat telah tamat riwayatnya. Namun ketiadaan jawaban itu justru sekaligus membuka jawaban baru. Setelah kematian filsafat, Bewley dan Vadillo memberi jawaban bahwa hanya Islam sebagai satu-satunya pilihan. “Berpikir bersama Heidegger adalah berpikir pada ujung pemikiran,” kata Vadillo. Ujung pemikiran Heidegger yang dimaksud Vadillo adalah Islam.

Di mata Vadillo, pandangan Heidegger penting dipahami umat Islam dewasa ini. Tak soal meski Heidegger sendiri bukan seorang muslim dan tentunya memang tidak mungkin mendapatkan jawaban tentang Islam dari Heidegger. Namun, bagi Vadillo, pandangan Heidegger, pada tingkatan tertentu, sedang berbicara tentang Islam, meski boleh jadi Heidegger sendiri tidak menyadari akan hal tersebut (hal. 41). Bukan sebuah kebetulan kalau buku ini menyebut Islam sebagai pilihan. Vadillo mengedepankan prinsip-prinsip spiritualitas Islam sebagai ukuran menemukan kebenaran universal. Dalam penjabaranya, Islam punya sistem dan syariah, sesuatu yang tidak dimiliki filsafat. Islam menjadi pilihan, sejatinya tidak hanya untuk umat Islam namun juga bagi peradaban Barat sendiri. “Setelah Heidegger menutup kedai filsafat, hanya Islam yang dapat mengambil alih. Satu-satunya takdir terakhir bagi pemikiran dunia Barat, bahkan dunia barat itu sendiri, adalah Islam.” (hal. 42). 

Januari 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Senjakala Uang Kertas

golddinarjpeg.jpg‘We have gold because we cannot trust Government” (Pernyataan Herbet Hoover dihadapan Presiden Rosevelt, tahun 1933)

Judul Buku: Gold Dinar, Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan
Penulis: M. Luthfi Hamidi, MA
Kata Pengantar: Dr. Mustofa Edwin Nasution
Penerbit: Senayan Abadi Publishing
Cetakan: 1, Februari 2007
Tebal: xxv + 221 halaman

TAHUKAH Anda, uang kertas dalam saku Anda menyimpan banyak persoalan? Ini bukan cuma soal betapa sulit mendapatkannya, namun lebih karena pada lembar-lembar uang kertas itu tersimpan masalah ekonomi dan politik berskala global. Di balik carikan uang kertas, bahkan, terdapat konspirasi, tarik-menarik kekuasaan yang membuat timpang wajah percaturan ekonomi dan politik dunia saat ini.  

Buku Gold Dinar, Sistem Moneter yang Stabil dan Berkeadilan, yang ditulis oleh M. Luthfi Hamidi, ini mengurai carut-marut wajah moneter dunia sejak sistem mata uang kertas diperkenalkan lalu diterima masyarakat dunia sebagai alat traksaksi yang final. Berbekal data dan kajian mendalam, Luthfi memapar sejumlah potret ketimpangan ekonomi yang melanda negara-negara dunia ketiga akibat penerimaan mereka terhadap sistem mata uang kertas (fiat money) itu. Fiat money adalah penggunaan mata uang berbasis kertas yang diterbitkan pemerintah suatu negara tanpa disokong logam mulia (emas dan perak).

Menurut Luthfi, penggunaan uang kertas sebagai alat transaksi moneter internasional itu telah membuka ruang bagi munculnya penjajahan baru dan salah satu biang ketidakadilan moneter di dunia. Melalui mata uang kertas, sebuah negara dapat menjajah, menguasai, bahkan melucuti kekayaan negara lain. Negara yang memiliki nilai mata uang kertas lebih kuat menekan negara lain yang mata uang kertasnya lebih lemah.

Contoh nyata penjajahan melalui mata uang itu terlihat dalam penggunaan uang kertas dolar Amerika Serikat (AS) yang diterima oleh 60 persen penduduk bumi. Inilah ironi terbesar dunia saat ini, menurut Luthfi. Dolar yang terdistribusi secara luas menempatkan AS pada tempat istimewa. Melalui dolar–mata uang yang tak berbasis pada emas itu–AS mengeksploitasi, memajaki warga dunia dengan mengalihkan beban inflasi yang ditanggungnya pada seluruh pemakai dolar di seantero dunia. Negara-negara ketiga didera krisis ekonomi berkepanjangan lantaran harus membayar inflasi yang ditimbulkan oleh penggunaan uang kertas tersebut.

Bukan itu saja. Ketidakadilan juga tersimak saat negara-negara ketiga menyerahkan pelbagai komoditas mereka seperti minyak, kayu dan kekayaan alam lainnya sementara AS cukup menukar semua komoditas itu dengan uang kertas yang bisa dicetaknya kapan saja. Nah, menurut buku ini, sepanjang dolar tetap dipakai dalam pelbagai transaksi moneter internasional, ketimpangan moneter dan krisis ekonomi akan terus melanda negara-negara ketiga. Lantas, bagaimana bila mau terbebas dari ketidakadilan moneter dan krisis ekonomi tersebut? Caranya: sistem moneter internasional saat ini yang didominasi uang kertas itu–dolar dan mata uang kertas kuat lainnya seperti euro dan yen–harus mendapat alternatif lain. Apa itu? Pilihan Luthfi jatuh pada mata uang dinar emas (gold dinar).

Dinar emas yang dimaksud adalah mata uang berupa kepingan koin berbahan baku emas 22 karat seberat 4,25 gram. Kendati disebut dinar, kata itu sejatinya sudah dikenal jauh sebelum Islam datang. Di mata Luthfi, inilah mata uang sejati. Pada dinar terdapat kestabilan nilai dan keadilan moneter karena mata uang tersebut berbasis komoditas (commodity currency). Dinar bernilai karena kandungan emas yang dimilikinya (intrinsik). Dinar tidak terikat keputusan politik apapun. Ini berbeda dengan mata uang kertas yang dianggap bernilai karena sebaris angka dicetakkan di atas kertasnya (ekstrinsik) lalu mendapat pengesahan pemerintah (negara).

Argumentasi kembali ke dinar emas tidak sampai di situ. Buku yang ditulis berdasarkan tesis yang diraih Luthfi di Markfield Institute, Inggris (2005) ini membentangkan pelbagai data berikut analisis seputar keunggulan mata uang dinar emas dan kerapuhan sistem mata uang berbasis uang kertas. Mengedepankan sejumlah variabel dan mengutip analisis para pakar ekonomi dunia, Luthfi tiba pada kesimpulan bahwa mata uang dinar emas terbukti lebih unggul dari mata uang kertas manapun. Penggunaan mata uang berbasis kertas (fiat money) patut ditinggalkan dan dinar emas (gold dinar) harus dikembalikan ke posisi terhormat sebagai mata uang internasional. (Lihat Bab II: Fiat Money atau Emas?)

Berikutnya, pada bab Gold Dinar dan Fungsi Uang Universal, pembaca diajak memahami universalitas emas. Dinar yang berbasis emas adalah mata uang yang mandiri dan sejarah telah membuktikan betapa mata uang itu dikenal sebagai extra ordinary currency yang anti-inflasi. Bahkan, dinar emas tidak terikat oleh kekuasaan politik manapun. Sebuah pemerintahan atau negara bisa jatuh dan uang kertas yang dicetak sebuah negara bisa kadaluarsa atau mengalami kemerosotan nilai. Namun, uang koin emas tetap beredar dan dihargai sesuai nilai pasar. Bukan negara yang membuat emas bernilai, melainkan pasar. (hlm. 79)

Dalam sejarah, koin dinar emas terbukti diterima sebagai alat moneter universal. Ribuan tahun lamanya masyarakat dunia dari pelbagai peradaban memilih mata uang ini sebagai alat tukar dalam aneka praktik keuangan. Selama ribuan tahun pula, perdagangan dunia menganut konsep bimetalisme, kebijakan moneter berbasis emas dan perak. Imperium Romawi menggunakan denarius, mata uang berupa koin emas bergambar Hercules bersama dua putranya, Herculyanoos dan Qustantine. Di Cina dikenal qian, mata uang yang juga berbasis logam.

Sementara itu, penggunaan fiat money baru dikenal pada abad 20 ini. Penandanya, saat sistem Bretton Woods ambruk pada 1944. Emas yang selama ribuan tahun menjadi standar mata uang (classical gold standard) diganti dengan sistem kurs mengambang (flexible excange rate) yang sama sekali tak lagi bersandar pada emas. Dunia kemudian hanya mengenal satu mata uang kertas yang mendominasi perdagangan dan menjadi pilihan mengisi cadangan devisa oleh berbagai negara, yaitu dolar AS.

Ditinggalkannya emas sebagai standar moneter internasional bukan tanpa sebab lain. Luthfi mengungkapkan, penyingkiran emas sebagai standar moneter merupakan upaya sistemik. Mengutip pernyatan Robert Mundel, peraih Nobel Ekonomi, emas mengalami marginalisasi karena konspirasi internasional. Salah satunya melalui penciptaan aset Special Drawing Right (SDR) yang diciptakan International Moneter Fund (IMF). Seperti dolar, SDR sebelumnya didukung oleh emas namun lambat laun setelah harga emas melesat naik pada 1970-an, garansi emasnya dicabut. (hlm. 148)

Buku yang ditulis Luthfi ini melengkapi langkanya literatur yang mengulas mata uang berbasis emas sebagai mata uang alternatif dalam usaha perbaikan wajah ekonomi dunia yang lebih berkeadilan. Boleh dikata, telaah mendalam seputar mata uang emas ini tak banyak dilakukan oleh pengamat atau pakar ekonomi kontemporer. Untuk menyebut beberapa, topik serupa terdapat dalam buku Jerat Utang IMF? karya Abdurrazaq Lubis (1998), Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter oleh Ismail Yusanto, et.al (2001), serta Lawan Dolar dengan Dinar (2003) dan Kembali ke Dinar (2004)–keduanya buah pena Zaim Saidi.

Beberapa buku itu tampil dengan sudut pandang berbeda dalam memandang keberadaan dinar, namun dalam semangat yang sama: dunia perdagangan harus kembali pada mata uang berbasis emas, bukan fiat money.

Adakah gagasan mereka ini hanya sebuah utopia? Faktanya, tidak. Menyadari kelemahan fiat money, kesadaran kembali pada mata uang berbasis logam mulia ini sudah bertumbuh di pelbagai belahan dunia. Pamor dinar yang meredup kembali dihidupkan oleh Syaikh Dr Abdalqadr as-Sufi, seorang tokoh sufi asal Skotlandia. Di Eropa, gagasan kembali menggunakan dinar emas digaungkan oleh Umar Ibrahim Vadillo, penulis buku Return of The Gold Dinar (1991). Bahkan, koin dinar emas telah kembali dicetak oleh Islamic Mint Spanyol dan telah diedarkan sebagai alat transaksi dalam World Islamic Trading Organization (WITO).

Beberapa negara juga telah melakukan transaksi perdagangan dengan dinar emas seperti yang dimulakan Malaysia dan Iran. Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad adalah satu-satunya pemimpin negara yang berani mengatakan dinar harus dikembalikan sebagai alat perdagangan internasional. Di Indonesia, belum terlihat keberanian pemimpinnya.

Kendati tak banyak mendapat dukungan pemerintah, gagasan kembali ke dinar di Indonesia bertumbuh di tengah masyarakat. Di beberapa kota, telah berdiri sejumlah wakala, gerai pembelian dinar. Di Indonesia, sejak tahun 2001, mata uang dinar dicetak oleh PT. Logam Mulia, anak perusahaan PT. Antam Tbk dan diedarkan oleh Islamic Mint Nusantara.

Januari 2003, terbentuk pula Forum Penggerak Dinar Dirham Indonesia (FORINDO) yang menandatangani Deklarasi Gerakan Internasional Gold Dinar dan International Silver Dirham. Forum ini terdiri dari Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Murabitun Nusantara, Permodalan Nasional Madani (PNM), Yayasan Dinar Dirham, Pusat Inkubasi Usaha Kecil Menengah (PINBUK), Wakala Adina, Forum Zakat Nasional, Asosiasi Bank Syariah Indonesia dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Selain untuk transaksi keuangan, dinar digunakan untuk mahar, zakat, tabungan haji dan investasi.

Buku Gold Dinar–juga beberapa buku lainnya–memberi peyakinan, bila dinar tegak sebagai alat moneter internasional, sebuah tatanan kehidupan perekonomian baru yang lebih stabil dan berkeadilan bukan utopi. Gagasan kembali pada dinar emas yang diusung buku ini berangkat dari kesadaran mengoreksi sistem moneter uang kertas yang menimbulkan kepincangan ekonomi global. Nah, bila proposal gold dinar terlaksana, ini bisa menjadi bentuk reformasi moneter yang akan mempengaruhi lanskap baru moneter dunia. (hlm. 180). Buku ini patut dibaca para praktisi dan pengamat ekonomi untuk mendapatkan sudut pandang berbeda dalam mengatasi keruwetan ekonomi Indonesia dan dunia hari ini.

(Emil W.  Aulia,  Koran Tempo,  Minggu, 27 Juni 2007)

Januari 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Gemerincing Dinar dalam Buku

dinarbuku.jpg

TUJUH tahun lalu PT Logam Mulia, anak perusahaan Aneka Tambang, resmi mencetak dan mengedarkan koin dinar emas dan dirham perak di Indonesia. Kehadiran koin-koin yang dikenal sebagai mata uang di era kejayaan Islam tempo doeloe itu segera mengundang sorotan, utamanya dari para cendekia di Tanah Air yang berkecimpung dalam studi ekonomi Islam.

Seiring dengan itu, penerbitan buku-buku seputar keberadaan koin-koin tersebut pun menggeliat. Sedikitnya ada selusin buku terbit sepanjang era reformasi ini. Paling banyak pada 2007. Hingga September saja lima buku telah diluncurkan: Gold Dinar, Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan karya M. Luthfi Hamidi (Senayan Abadi Publishing); Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar & Dirham oleh Muhaimin Iqbal (Spiritual Learning Centre); Satanic Finance, True Conspiracies karangan A. Riawan Amin (Celestial Publishing); Kemilau Investasi Dinar Dirham oleh Sufyan Al-Jawi (Pustaka Adina); dan Ilusi Demokrasi, Kritik dan Otokritik Islam karangan Zaim Saidi (Republika).

Kelima buku itu senapas: menelisik hakikat, plus-minus antara koin dinar-dirham dan uang kertas (fiat money). Telaah berpusat pada dua hal, yakni mengkritik struktur keuangan moderen kekinian serta mengoreksi penggunaan uang kertas yang kini jamak berlaku di seluruh negara di dunia. Perbedaan kelima buku itu lebih pada argumentasi dan fakta yang disusun para penulisnya, merujuk latar belakang pendidikan dan pekerjaan mereka yang beragam.

Kendati berbeda dalam argumentasi dan cara menguraikan, kelima buku itu sampai pada kesimpulan yang sama: mata uang dinar-dirham memiliki banyak keunggulan dari uang kertas, sebab itu mata uang dinar-dirham patut dikedepankan, mengganti mata uang kertas yang kita kenal saat ini, entah itu rupiah, yen, euro, ringgit, poundsterling, atau dolar AS.

Dinar punya kelebihan karena ia mata uang riil (commodity currency). Disebabkan terbuat dari logam mulia, dinar lebih stabil, mampu menghadapi tekanan inflasi dan gejolak kurs. Sebaliknya, uang kertas adalah uang hampa karena ia tak lebih sekedar kertas cetakan belaka yang dikeluarkan tanpa disokong nilai emas dan perak. Ia bernilai hanya karena diberi angka melalui pemaksaan negara. Lantaran tidak berbasis emas, uang kertas rentan spekulasi dan inflasi.

Disebabkan mengandung emas pula, dinar adalah mata uang universal. Sejarah dan peradaban mengakuinya. Potonglah sekeping dinar emas menjadi bagian-bagian kecil, seluruh bagiannya tetap berharga. Tapi guntinglah selembar uang kertas, maka ia sama sekali tak akan berguna.

Dijabarkan pula, penggunaan uang kertas adalah bagian dari praktik imperialisme ekonomi moderen yang berbasis riba (usury). Uang kertas adalah salah satu pilarnya. Kelima buku tersebut sepakat, riba adalah jiwa bangunan ekonomi modern yang menguasai sistem keuangan dunia kita saat ini. A. Riawan Amin menyebut uang kertas sebagai “pilar setan” yang mengokohkan berdirinya “satanic finance“. Pilar lainnya adalah pengucuran utang (credit) dan memungut bunga (interest). Mesinnya adalah perbankan. Sebagai sebuah sistem yang terstruktur, riba (perbankan) bekerja secara global untuk memiskinkan umat manusia.

Kehadiran kelima buku itu memperkaya kepustakaan dinar-dirham yang ditulis cendekiawan asal Indonesia. Sebelumnya, lebih dulu terbit Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter, hasil kerja sama PIRAC dan SEM Institute (1999). Buku ini kumpulan makalah dari seminar bertajuk serupa.

Aktivis lembaga swadaya masyarakat Zaim Saidi termasuk yang getol menulis topik dinar-dirham. Sebelum merilis Ilusi Demokrasi, ia telah meluncurkan tiga buku bertema serupa, yaitu Lawan Dolar dengan Dinar dan Kembali ke Dinar (2004). Menyusul kemudian Tidak Islamnya Bank Islam, yang ditulisnya bersama Imran N. Hosein (2005). Tak hanya menulis, Zaim juga mendirikan Wakala Adina, sebuah gerai pembelian dinar-dirham di Depok, Jawa Barat yang bisa diakses publik.

Kepustakaan dinar bertambah saat beberapa buku penulis asing turut diterjemahkan. Sebut, misalnya, Discredit Interest Debt, The Instrument of World Enslavement karangan Abdur-razzak Lubis, yang terbit di Malaysia dan diterjemahkan menjadi Jerat Utang IMF (Mizan, 1998). Lalu buku Raising A Fallen Pillar karangan dua pemikir muslim asal Inggris, Abdalhaqq Bewley dan Abdal-Hakim Douglas, yang dialihbahasakan menjadi Menegakkan Pilar yang Runtuh (Adina, 2004). Menyusul Al-Auraqal-Naqdiyah fi al-Iqtishad al-Islami karangan Dr Ahmad Hasan, sarjana Universitas Damaskus, yang diterjemahkan menjadi Mata Uang Islami, Telaah Konfrehensif Sistem Keuangan Islami (Raja Grafindo, 2005).

Geliat penerbitan buku-buku bertema dinar boleh disebut sebagai imbas gerakan kembali ke dinar-dirham yang bergaung dari Eropa. Pamor dinar yang meredup seiring kejatuhan Kekhalifahan Osmani di Turki pada 1920 kembali dihidupkan oleh Syeikh Dr Abdalqadir as-Sufi. Pada 18 Agustus 1991 tokoh sufi asal Skotlandia ini mengeluarkan fatwa haram penggunaan uang kertas sebagai alat tukar.

Salah seorang murid Syeikh, Umar Ibrahim Vadillo, kemudian memimpin gerakan Murabitun Internasional yang giat menyerukan kembali penggunaan dinar-dirham di Eropa bahkan ke seluruh dunia. Vadillo menulis banyak buku tentang dinar. Salah satu yang paling banyak dirujuk adalah Return of the Gold Dinar (Madinah Press, 1996). Buku ini memuat penjelasan lengkap seputar sejarah dinar-dirham dan bagaimana uang kertas memengaruhi harga-harga.

Hingga dinar-dirham dicetak kembali pada 1992 di Granada, Spanyol, dan diedarkan oleh Islamic Mint Spanyol, spesifikasinya mengikuti standar yang ditetapkan Khalifah Umar Bin Khatab. Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram, sementara dirham adalah perak sterling seberat 2,975 gram. Selain Spanyol dan Indonesia, dinar-dirham juga telah dicetak di Skotlandia, Jerman, Afrika Selatan, Dubai, dan Malaysia. Layaknya mata uang, kini dinar dan dirham digunakan sebagai alat tukar perdagangan, sarana investasi dan pembayaran upah. Penggunaan yang lain adalah sebagai zakat, mahar perkawinan, dan cindera mata.

Buku-buku bernapas dinar yang telah terbit sejatinya bukan sekedar kumpulan teks semata, melainkan “buku perjuangan”. Buku-buku itu menyuarakan perlawanan terhadap sistem ekonomi liberal kapitalistik yang saat ini menguasai dunia. Usai membacanya, kita dihadapkan pada dua pilihan: berdamai dengan sistem keuangan yang berlaku sekarang dengan segala bencana yang ditimbulkannya atau memilih aturan baru yang sama sekali berbeda untuk menyelamatkan keadaan.

(Emil W. Aulia, Koran Tempo, Minggu, 31 Desember 2007)

Januari 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar