Nan Takana

Lets Against Interest and Debt

Beberapa Kritik terhadap Bank Syariah

Tarek El Diwany bangga bisa berkarir di sebuah lembaga konsultan keuangan berbasis syariah di kota London, Inggris. Profesi itu tak hanya membawanya berkeliling ke berbagai negara namun juga membuatnya bisa memberikan  konsultasi pengembangan instrumen keuangan Islam ke seluruh dunia.  Namun belakangan, interaksi Tarek dengan berbagai orang yang ditemuinya, mengubah pemahamannya tentang realitas ekonomi di sekelilingnya. Puncaknya,  saat Tarek menyaksikan gencarnya dukungan perusahaan perbankan konvensional (ribawi) terhadap perbankan syariah (Islam). Sebaris pertanyaan kemudian mengusiknya. “Mengapa bank-bank berbasis bunga terbesar di dunia mempromosikan perbankan dan keuangan Islam sebegitu gencarnya? Islam menentang bunga uang, sementara dari sanalah selama ini bank-bank ribawi itu menjadi sangat kaya.”

Tarek mencari jawabannya. Hasilnya, doktor alumnus Universitas Lancaster itu tiba pada kesimpulan: ada institusi dan kekuatan politik berkuasa yang sedang mengorupsi nama Islam. Wujudnya, mereka mengembangkan berbagai instrumen dan kerangka kerja keuangan berbasis bunga (riba) namun mengatakannya kepada  publik sebagai contoh praktik keuangan Islam.  Berbagai  perusahaan  keuangan kemudian serempak menerapkannya. Pemerintah membuat berbagai peraturan demi melicinkan upaya implementasi tersebut.

Ini konspirasi. Berbagai konferensi bertema perbankan syariah digelar, menghadirkan pembicara yang mendukung para bankir. Para sarjana muslim fresh graduate yang tidak pernah bermimpi bisa menjadi staf senior di bank investasi global, dipromosikan menjalankan departemen-departemen bank Islam dengan gaji berlipat dari gaji standar nasional.

Kondisi kian klop saat media massa gencar memuat artikel dan iklan yang memproklamirkan kesuksesan industri perbankan dan keuangan Islam. Dengan segala cara itu, lanjut Tarek, ancaman sistem keuangan Islam yang murni  (bebas riba) sesungguhnya sedang dicegah. Tarek pun menegaskan, praktik keuangan yang dikembangkan perbankan Islam bukan menjauhkan umat muslim dari riba, sebaliknya, justru umat tetap berada dalam kungkungan riba.

Pembaca yang ingin mengetahui lebih detil kritik Tarek, silakan membaca bukunya, Membongkar Konspirasi Bunga Uang (PPM Manajemen; 2008). Selain soal konspirasi, Tarek juga memapar sejumlah kontrak perjanjian (akad) menurut hukum Islam namun diterapkan dengan teknik yang berbeda oleh para praktisi perbankan Islam.

Tarek bukan satu-satunya pengkritik.  Lebih awal ada  Prof  Umar Ibrahim Vadillo. Kritik Dekan Dallas College Cape Town Afrika Selatan ini tertuang dalam bab The Fallacy of Islamic Banking dalam bukunya The End of Economics, (Madinah Press, 1991). Vadillo menyatakan, bank Islam sejatinya bertolakbelakang dengan ajaran Islam. Perbankan Islam adalah tipu-daya yang dilancarkan pelaku riba untuk menyeret jutaan  umat Islam masuk dalam perangkap riba. Bank Islam adalah upaya melumpuhkan perlawanan Islam atas riba selama 14 abad lamanya. Bank Islam adalah kuda troya yang menyusup dalam rumah Islam.

Kritik lanjutan dibentangkan Vadillo di bukunya yang lain, Esoteric Deviation in Islam (2003). Buku setebal seribu halaman itu melingkupi berbagai topik. Salah satu yang disorot adalah pengaruh kapitalisme pada dunia Islam. Kapitalisme, kata Vadillo,  masuk ke dunia Islam melalui gerakan pembaruan dan reformasi Islam yang digagas sejumlah pemikir di Mesir. Tak sampai seabad, gerakan itu berhasil menggiring kapitalisme diterima umat Islam. Itu ditandai dengan diterimanya konsep perbankan Islam, asuransi Islam, pasar modal Islam, dan pelabelan “Islam” pada produk kapitalisme lainnya. Islamisasi kapitalisme, demikian istilah Vadillo, adalah pembenaran praktik riba yang diharamkan Allah SWT.

Merujuk beberapa pandangan Vadillo, Abdur-razzaq Lubis,  aktifis People Againts Interest-Debt (PAID) yang bermukim di Penang, Malaysia meluncurkan Tidak Islamnya Bank Islam. Buku ini melengkapi kritik selanjutnya atas kehadiran perbankan Islam di negeri jiran.

Di Indonesia, kritik serupa dimulai oleh Zaim Saidi melalui Tidak Islamnya Bank Islam:  Sebuah Kritik atas Perbankan Syariah (Adina; 2003). Buku ini juga memuat risalah terjemahan karya ulama Imran N Hosein, The Importance of Prohibition of Riba in Islam yang sebelumnya pernah dimuat dalam Ansari Memorial Series. Buku seukuran saku itu sempat menyulut kontroversi di sejumlah forum. Tak surut, mantan Direktur PIRAC yang kini aktif memperjuangkan penggunaan koin dinar emas dan dirham perak sebagai alat tukar itu meneruskan kritiknya dalam Tipuan Perbankan  Syariah sebuah bab pada bukunya yang lain, Ilusi Demokasi: Kritik dan Otokritik Islam (Republika; 2007). Tidak bisa dilupakan, Sistem Dajjal (1997) karya Ahmad Thomson yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Selain memuat kritik serupa pada perbankan syariah, buku pemikir muslim asal Inggris itu juga membongkar akar krisis berbagai masalah di dunia yang dialami manusia moderen.

***

Kehadiran perbankan syariah, –dan segenap dukungan kepadanya– umumnya dipahami sebagai jawaban atas keraguan umat Islam atas perbankan konvensional yang menjalankan praktik riba. Perbankan syariah dipercaya sebagai solusi untuk mencapai perniagaan yang adil. Namun, bagi pengkritiknya, perbankan syariah bukan solusi bahkan justru sebentuk pengkhianatan. Nah, bila menerusi pikiran mereka, lantas apa yang mereka tawarkan? Bukankah,  kehidupan kita saat ini sangat bergantung pada perbankan?

Jalan yang ditawarkan adalah kembali kepada tata perniagaan Islam (muamalah) sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan sahabat  di Madinah serta mereka yang meneruskannya tanpa pengaruh modernitas. Sejarah mencatat, dalam waktu yang lama, umat Islam sukses berniaga, nyaman melakukan berbagai transaksi keuangan dengan umat lainnya hingga ke berbagai penjuru dunia. Itu semua berlangsung tanpa peran perbankan.

Namun, kapitalisme telah meruntuhkan muamalah.  Penghancuran ditandai dengan berdirinya perbankan yang hidupnya bergantung dengan memungut bunga-utang  dan memproduksi uang kertas (fiat money). Sebagai jalan awal, Vadillo memanggil umat Islam menggunakan kembali koin dinar emas dan dirham perak. Uang kertas yang diproduksi oleh bank –termasuk bank syariah— bukanlah uang menurut hukum Islam. “Uang moderen” itu justru mesin utama penggerak kapitalisme. Sebaliknya, bila kembali pada dinar dan dirham maka “uang tradisional” itu akan meminimalisir berbagai mudarat yang ditimbulkan kapitalisme.

Bagi Vadillo, riba bukan sekedar pungutan tambahan atas utang namun juga uang kertas itu sendiri. Proses penciptaan uang kertas oleh bank, menurutnya,  merupakan praktik riba. Dasarnya, nilai yang diterakan di atas secarik uang kertas, tidak sama dengan kandungannya. Uang kertas bernilai hanya karena diberi cap oleh otoritas politik. Bila otoritas itu tidak ada maka uang kertas sama saja dengan kertas cetakan lainnya. Hal ini berbeda dengan dinar dan dirham yang bernilai  karena kandungannya. Memahami proses produksi uang kertas adalah batuan dasar untuk mengenali bagaimana kapitalisme perbankan –konvensional atau syariah–  berdiri dan bekerja. Memahami dinar-dirham adalah pintu masuk kembali pada muamalah.

Jalan kedua, menghidupkan kontrak qirad (pinjaman usaha) dan syirkah (bagi hasil). Akad-akad itu diterapkan tanpa memakai definisi yang disusun oleh perbankan syariah. Permodalan diperoleh tanpa meminta pinjaman bank, melainkan langsung melalui kemitraan antara kumpulan individu yang saling mengenal. Hal ini akan melahirkan restorasi  perniagaan Islam berupa kembalinya  pasar terbuka Islam, munculnya jaringan pedagang kolektif (karavan) dan kembalinya unit-unit produksi mandiri (gilda). Realitas turunan itu tidak akan ditemukan bila qirad dan syirkah versi perbankan syariah yang dijalankan.

Utopikah pandangan Vadillo? Di Indonesia, sejak tahun 2001, koin dinar-dirham telah dicetak dan kini beredar melalui puluhan wakala –gerai penukaran rupiah ke dinar-dirham. Peredaran dan baku mutunya, berada dalam otoritas amirat yang menginduk ke World Islamic Trade Organization (WITO). Seiring itu, hari ke hari, pengguna koin berbahan logam mulia itu terus bertambah. Mereka menggunakannya untuk berbagai urusan; membayar zakat, sedekah, upah, mahar, investasi, jual-beli hingga memenuhi ketentuan dalam menjalankan kontrak qirad dan syirkah. Sepanjang tahun ini, pasar terbuka Islam dengan transaksi memakai koin dinar-dirham telah diselenggarakan di berbagai tempat; Mesjid Salman ITB, kampung nelayan Cilincing,  gedung  MUI Depok, Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran, Pesantren Daarut Tauhid, Gegerkalong, dan Kampus UGM, Yogya dan lainnya. Tak luput, teknologi internet juga dikembangkan untuk memudahkan pelbagai transaksi. Semua aktifitas muamalah itu sukses dijalankan tanpa peran perbankan syariah.  ***

Maret 10, 2010 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Umar Ibrahim Vadillo, Pelopor Kembalinya Dinar Dirham

AKHIR Juni 2009. Profesor  Umar Ibrahim Vadillo  mampir ke Indonesia. Dekan Dallas College  Cape Town, Afrika Selatan itu diundang menjadi salah satu pembicara dalam International Conference of Islamic Economic System (ICIES) di  Yogyakarta. Topiknya,  mengembalikan dinar sebagai alat tukar sesuai syariah. Kegiatan tersebut kerjasama STIE Hamfara Yogyakarta, CISMOR, Universitas Doshisa Jepang dan Universitas Gadjah Mada. Pada undangan yang disebar, panitia konferensi menambahi kalimat ‘the man behind dinar’ di belakang namanya. Sebuah keterangan yang menunjukkan sepak terjang Vadillo selama ini.

Sosok Vadillo memang tidak lepas dari dinar. Cendekiawan muslim asal Spanyol berusia 45 tahun itu adalah pelopor kembalinya dinar –juga dirham– di abad moderen ini. Tahun 1992,  Vadillo mencetak kembali dinar-dirham di Granada. Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram. Dirham, koin perak 2,9 gram. Spesifikasi ini merujuk standar yang ditetapkan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Selama 14 abad, dinar-dirham berjaya sebagai alat tukar di negeri-negeri muslim. Namun, pasca jatuhnya Kekhalifahan Usmani Turki (1924), kedua mata uang berbahan logam mulia itu perlahan menghilang. Dunia  beralih menggunakan uang kertas (fiat money) –sistem mata uang yang tidak bersandar pada emas dan perak.

Bersama World Islamic Trade Organisation (WITO) yang dipimpinnya, Vadillo gencar memperkenalkan koin dinar-dirham ke berbagai kalangan termasuk menemui pelbagai pemimpin di dunia. Vadillo adalah sosok di balik promosi dinar yang kemudian mendapat dukungan dari mantan Perdana Menteri Turki  Necmettin Erbakan,  Raja Hassan II Maroko dan mantan PM Malaysia Mahattir Mohammad. Saat ini, Vadillo terlibat dalam pembangunan infrastruktur penerapan dinar di Kelantan, Malaysia untuk digunakan sebagai alat pembayaran gaji para pegawai pemerintah setempat dan pembayaran listrik dan air.

Kembali menggunakan dinar-dirham, bukan romansa masa silam melainkan bagian dari menegakkan sunnah Rasulullah yang runtuh. Dinar-dirham adalah rahmat Islam bagi dunia.  Sebaliknya, uang kertas adalah sumber malapetaka bagi bumi dan umat manusia. Menurut Vadillo, penggunaan uang kertas adalah mesin utama tegaknya kapitalisme di dunia saat ini.

Vadillo telah menulis sejumlah buku tentang dinar-dirham dengan segala aspek yang melingkupinya. Diantaranya, The End of Economics (1991), Fatwa on Paper Money (1991), The Workers have been Told a Lie about Their Situation (1992),  A General Idea of the Opening to Islam in the XXI Century (1994) dan Return of the Gold Dinar (1996). Beberapa di antaranya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Jejak pemikiran Vadillo juga bisa disimak dalam Menembus Batas, Damai Untuk Semesta (2008), buku yang berisi kumpulan wawancara Liem Siok Lan dengan berbagai tokoh dunia berpengaruh –salah satunya dengan Vadillo.

Menurut Vadillo, kapitalisme dalam perspektif Islam adalah berarti riba (usury). Dan, Islam tegas mengharamkannya. Praktik riba –sebagai doktrin utama kapitalisme– di era  moderen ini terjelma melalui penciptaan uang kertas (fiat money). Motornya adalah perbankan yang mencetak uang dari kehampaan lalu memungut bunga-utang. Dari sinilah pelbagai petaka tercipta. Uang kertas, bunga-utang, memporak-porandakan pelbagai sendi  kehidupan umat manusia. Berbagai kerusakan berlangsung sangat cepat dan fantastis di bumi kita hanya dalam kurun waktu 75 tahun terakhir. Kemiskinan, pengangguran, kelaparan, krisis lingkungan, moral hazard dan sebagainya –adalah sejumlah dampak nyata riba. Maka, bila ingin lepas dari kapitalisme, jawabannya adalah: tinggalkan sejumlah praktik riba itu lalu beralih sepenuhnya pada muamalah –tata perniagaan Islam.

Kembali menggunakan dinar-dirham, adalah pilar pertama penegakan muamalah itu.   Buku-buku Vadillo, mengurai bagaimana implementasi dinar-dirham  dalam kehidupan kekinian. Selain sebagai alat tukar, kdua koin itu juga digunakan untuk membayar zakat,  mahar dan investasi.

Pilar kedua, menghidupkan kontrak perdagangan yang halal dan adil berupa qirad (pinjaman usaha) dan syirkah (kemitraan). Kontrak jenis ini akan menghapuskan ketergantungan masyarakat moderen pada perbankan yang hidup dengan memungut bunga-utang dan menciptakan uang dari kenihilan. Ketiga, kembalinya karavan atau kumpulan kafilah pedagang yang kehadirannya akan mengembangkan perdagangan melalui logistik dan aktifitas ekspor.

Keempat, kembalinya guild atau sentra-sentra  kewirausahaan mandiri. Ajaran Islam, menurut Vadillo,  mengedepankan bertumbuhnya kumpulan manusia (masyarakat) yang mampu berwirausaha. Bukan masyarakat buruh yang hidupnya mengabdi pada majikan. Seiring bertumbuhnya gulid, akan berdiri pula pilar kelima, yaitu, kembalinya pasar terbuka Islam. Pasar jenis ini tidak mengenal sewa, pajak dan cukai. Semua orang bebas berdagang sepanjang barang yang diperdagangkan halal sesuai syariat. Di pasar itu pula, dinar-dirham digunakan sebagai alat tukar. Kehadiran kembali pasar terbuka Islam menjadi jalan pembuka melepaskan dominasi monopolistik pasar moderen yang dikenal melalui supermarket atau hypermarket yang dalam raktiknya terbukti telah menyapu bisnis para pedagang kecil.

Seluruh bangunan muamalah itu bukan wacana apalagi utopia. Vadillo merujuk dan mengumpulkan pelbagai praktik historis yang sukses diamalkan oleh generasi umat Islam pertama di Kota Madinah al-Munawarah pada masa kepemimpinan Rasululah SAW dan berketerusan hingga tiga generasi berikutnya: sahabat, pengikut (tabi’un) dan setelah pengikut (tabi’ut-tabi’in).

Di Indonesia saat ini, berbagai aspek muamalah itu mulai diterapkan. Sejak tahun 2001, misalnya, koin dinar-dirham telah dicetak dan beredar di Indonesia melalui wakala –jaringan gerai penukaran rupiah ke dinar-dirham. Peredaran dan baku mutu koin berbahan logam mulia itu berada dalam otoritas amirat yang menginduk ke WITO. Selain itu, pasar terbuka Islam juga mulai dihidupkan. Beberapa di antaranya telah digelar di Mesjid Salman ITB, Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran, Pesantren Daarut Tauhid, Gegerkalong, dan Kampus UGM, Yogya. Seiring itu, komunitas pengguna dinar-dirham juga kian bertambah luas.

Menjadikan khasanah ‘Islam tradisional’ sebagai rujukan memang keistimewaan karya-karyanya. Vadillo lahir, dibesarkan di Barat dan memahami sejarah serta bangunan  pemikiran Barat.  Namun, setelah memeluk dan mempelajari Islam, Vadillo tiba pada kesimpulan bahwa pola pikir, konsep ekonomi dan sistem keuangan moderen Barat berdiri kokoh pada pilar-pilar riba. Dalam sejumlah bukunya, Vadillo membentangkan berbagai bukti dan temuannya  betapa sistem ekonomi Barat telah gagal  menyejahterakan umat manusia.

Daftar buku yang mengupas topik itu bisa terus diperpanjang. Heidegger for Muslim (2006) –ditulisnya bersama Abdalhaqq Bewley– mengurai bagaimana metode dan konsep berpikir filsafat Barat (non-Islam) terbukti gagal mengatasi pelbagai persoalan. Buku ini berasal dari materi perkuliahan yang diberikan Vadillo di Dallas College. Bahkan, Vadillo juga menghindari pendekatan kelompok Islam modernis –yang menurutnya telah melakukan kekeliruan karena mencampurkan cara pandang Barat dalam memahami Islam.  Modernisme Islam, tegas Vadillo,  justru membuat umat Islam kian terpuruk dalam kapitalisme.

Saat sebagian umat Islam merayakan kemunculan bank  syariah, misalnya, Vadillo justru mengeritiknya. “Bank syariah adalah kuda troya dalam rumah Islam,” tulisnya.  Kritik serupa juga ia tujukan pada asuransi syariah, pasar modal syariah, kartu kredit syariah dan pelbagai produk perbankan lainnya yang kini ramai dilabeli kata “syariah”. Menurut Vadillo, “Semua labelilasi syariah itu hanya merupakan upaya terselubung sekelompok pihak untuk melemahkan perlawanan Islam menentang riba selama 14 abad”. Sungguh, ini  adalah kritik yang tajam.

Bukunya yang lain, Esoteric Deviation in Islam (2003),  Vadillo menunjukkan lebih detil berbagai potret modernisasi di dunia Islam itu kian membuat umat Islam terpinggirkan. Pada buku setebal seribu halaman itu digambarkan, Islam sama sekali tidak membutuhkan modernisme. Alih-alih modernisme Islam mampu menghapus kapitalisme, yang terjadi justru hukum Islam telah diselewengkan untuk memperkaya sistem kapitalisme itu sendiri. Hanya Islam, tanpa pengaruh modernisme,  sebagai satu-satunya jalan untuk ditempuh.  “Islam bukan anti Barat. Islam hanya untuk bertakwa kepada Allah” tegas Vadillo.

Kentalnya warna Islam dalam karya-karya Vadillo serta kegigihannya dalam berdakwah, tidak bisa dilepaskan dari peran Syeikh Dr Abdalqadir as-Sufi, mursid tarikat Shadiliah-Darqawi yang menjadi gurunya. Dari Syeikh as-Sufi, Vadillo mendalami fikih, muamalah, dan tasawuf. Sebelumnya, Vadillo menimba ilmu di Augustinian College dan Universitas Madrid.

Syeikh as-Sufi juga dikenal sebagai pemimpin Murabitun World Wide, komunitas muslim Eropa yang kini mengajar dan menetap di Cape Town, Afrika Selatan. Dia menulis berbagai artikel dan lusinan buku melingkupi berbagai topik; fikih, muamalah, tasawuf, politik, prosa dan novel. Pemikiran Syeikh as-Sufi  bisa disimak di situsnya www.shaykhabdalqadir.com. Sebagaimana Vadillo, murid-murid Syeikh as-Sufi yang banyak tersebar di berbagai negara di dunia –termasuk Indonesia— juga gencar menyuarakan perlawanan atas riba dan  menyerukan umat  Islam kembali pada muamalah. ***

Maret 10, 2010 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar