Nan Takana

Lets Against Interest and Debt

Beberapa Kritik terhadap Bank Syariah

Tarek El Diwany bangga bisa berkarir di sebuah lembaga konsultan keuangan berbasis syariah di kota London, Inggris. Profesi itu tak hanya membawanya berkeliling ke berbagai negara namun juga membuatnya bisa memberikan  konsultasi pengembangan instrumen keuangan Islam ke seluruh dunia.  Namun belakangan, interaksi Tarek dengan berbagai orang yang ditemuinya, mengubah pemahamannya tentang realitas ekonomi di sekelilingnya. Puncaknya,  saat Tarek menyaksikan gencarnya dukungan perusahaan perbankan konvensional (ribawi) terhadap perbankan syariah (Islam). Sebaris pertanyaan kemudian mengusiknya. “Mengapa bank-bank berbasis bunga terbesar di dunia mempromosikan perbankan dan keuangan Islam sebegitu gencarnya? Islam menentang bunga uang, sementara dari sanalah selama ini bank-bank ribawi itu menjadi sangat kaya.”

Tarek mencari jawabannya. Hasilnya, doktor alumnus Universitas Lancaster itu tiba pada kesimpulan: ada institusi dan kekuatan politik berkuasa yang sedang mengorupsi nama Islam. Wujudnya, mereka mengembangkan berbagai instrumen dan kerangka kerja keuangan berbasis bunga (riba) namun mengatakannya kepada  publik sebagai contoh praktik keuangan Islam.  Berbagai  perusahaan  keuangan kemudian serempak menerapkannya. Pemerintah membuat berbagai peraturan demi melicinkan upaya implementasi tersebut.

Ini konspirasi. Berbagai konferensi bertema perbankan syariah digelar, menghadirkan pembicara yang mendukung para bankir. Para sarjana muslim fresh graduate yang tidak pernah bermimpi bisa menjadi staf senior di bank investasi global, dipromosikan menjalankan departemen-departemen bank Islam dengan gaji berlipat dari gaji standar nasional.

Kondisi kian klop saat media massa gencar memuat artikel dan iklan yang memproklamirkan kesuksesan industri perbankan dan keuangan Islam. Dengan segala cara itu, lanjut Tarek, ancaman sistem keuangan Islam yang murni  (bebas riba) sesungguhnya sedang dicegah. Tarek pun menegaskan, praktik keuangan yang dikembangkan perbankan Islam bukan menjauhkan umat muslim dari riba, sebaliknya, justru umat tetap berada dalam kungkungan riba.

Pembaca yang ingin mengetahui lebih detil kritik Tarek, silakan membaca bukunya, Membongkar Konspirasi Bunga Uang (PPM Manajemen; 2008). Selain soal konspirasi, Tarek juga memapar sejumlah kontrak perjanjian (akad) menurut hukum Islam namun diterapkan dengan teknik yang berbeda oleh para praktisi perbankan Islam.

Tarek bukan satu-satunya pengkritik.  Lebih awal ada  Prof  Umar Ibrahim Vadillo. Kritik Dekan Dallas College Cape Town Afrika Selatan ini tertuang dalam bab The Fallacy of Islamic Banking dalam bukunya The End of Economics, (Madinah Press, 1991). Vadillo menyatakan, bank Islam sejatinya bertolakbelakang dengan ajaran Islam. Perbankan Islam adalah tipu-daya yang dilancarkan pelaku riba untuk menyeret jutaan  umat Islam masuk dalam perangkap riba. Bank Islam adalah upaya melumpuhkan perlawanan Islam atas riba selama 14 abad lamanya. Bank Islam adalah kuda troya yang menyusup dalam rumah Islam.

Kritik lanjutan dibentangkan Vadillo di bukunya yang lain, Esoteric Deviation in Islam (2003). Buku setebal seribu halaman itu melingkupi berbagai topik. Salah satu yang disorot adalah pengaruh kapitalisme pada dunia Islam. Kapitalisme, kata Vadillo,  masuk ke dunia Islam melalui gerakan pembaruan dan reformasi Islam yang digagas sejumlah pemikir di Mesir. Tak sampai seabad, gerakan itu berhasil menggiring kapitalisme diterima umat Islam. Itu ditandai dengan diterimanya konsep perbankan Islam, asuransi Islam, pasar modal Islam, dan pelabelan “Islam” pada produk kapitalisme lainnya. Islamisasi kapitalisme, demikian istilah Vadillo, adalah pembenaran praktik riba yang diharamkan Allah SWT.

Merujuk beberapa pandangan Vadillo, Abdur-razzaq Lubis,  aktifis People Againts Interest-Debt (PAID) yang bermukim di Penang, Malaysia meluncurkan Tidak Islamnya Bank Islam. Buku ini melengkapi kritik selanjutnya atas kehadiran perbankan Islam di negeri jiran.

Di Indonesia, kritik serupa dimulai oleh Zaim Saidi melalui Tidak Islamnya Bank Islam:  Sebuah Kritik atas Perbankan Syariah (Adina; 2003). Buku ini juga memuat risalah terjemahan karya ulama Imran N Hosein, The Importance of Prohibition of Riba in Islam yang sebelumnya pernah dimuat dalam Ansari Memorial Series. Buku seukuran saku itu sempat menyulut kontroversi di sejumlah forum. Tak surut, mantan Direktur PIRAC yang kini aktif memperjuangkan penggunaan koin dinar emas dan dirham perak sebagai alat tukar itu meneruskan kritiknya dalam Tipuan Perbankan  Syariah sebuah bab pada bukunya yang lain, Ilusi Demokasi: Kritik dan Otokritik Islam (Republika; 2007). Tidak bisa dilupakan, Sistem Dajjal (1997) karya Ahmad Thomson yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Selain memuat kritik serupa pada perbankan syariah, buku pemikir muslim asal Inggris itu juga membongkar akar krisis berbagai masalah di dunia yang dialami manusia moderen.

***

Kehadiran perbankan syariah, –dan segenap dukungan kepadanya– umumnya dipahami sebagai jawaban atas keraguan umat Islam atas perbankan konvensional yang menjalankan praktik riba. Perbankan syariah dipercaya sebagai solusi untuk mencapai perniagaan yang adil. Namun, bagi pengkritiknya, perbankan syariah bukan solusi bahkan justru sebentuk pengkhianatan. Nah, bila menerusi pikiran mereka, lantas apa yang mereka tawarkan? Bukankah,  kehidupan kita saat ini sangat bergantung pada perbankan?

Jalan yang ditawarkan adalah kembali kepada tata perniagaan Islam (muamalah) sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan sahabat  di Madinah serta mereka yang meneruskannya tanpa pengaruh modernitas. Sejarah mencatat, dalam waktu yang lama, umat Islam sukses berniaga, nyaman melakukan berbagai transaksi keuangan dengan umat lainnya hingga ke berbagai penjuru dunia. Itu semua berlangsung tanpa peran perbankan.

Namun, kapitalisme telah meruntuhkan muamalah.  Penghancuran ditandai dengan berdirinya perbankan yang hidupnya bergantung dengan memungut bunga-utang  dan memproduksi uang kertas (fiat money). Sebagai jalan awal, Vadillo memanggil umat Islam menggunakan kembali koin dinar emas dan dirham perak. Uang kertas yang diproduksi oleh bank –termasuk bank syariah— bukanlah uang menurut hukum Islam. “Uang moderen” itu justru mesin utama penggerak kapitalisme. Sebaliknya, bila kembali pada dinar dan dirham maka “uang tradisional” itu akan meminimalisir berbagai mudarat yang ditimbulkan kapitalisme.

Bagi Vadillo, riba bukan sekedar pungutan tambahan atas utang namun juga uang kertas itu sendiri. Proses penciptaan uang kertas oleh bank, menurutnya,  merupakan praktik riba. Dasarnya, nilai yang diterakan di atas secarik uang kertas, tidak sama dengan kandungannya. Uang kertas bernilai hanya karena diberi cap oleh otoritas politik. Bila otoritas itu tidak ada maka uang kertas sama saja dengan kertas cetakan lainnya. Hal ini berbeda dengan dinar dan dirham yang bernilai  karena kandungannya. Memahami proses produksi uang kertas adalah batuan dasar untuk mengenali bagaimana kapitalisme perbankan –konvensional atau syariah–  berdiri dan bekerja. Memahami dinar-dirham adalah pintu masuk kembali pada muamalah.

Jalan kedua, menghidupkan kontrak qirad (pinjaman usaha) dan syirkah (bagi hasil). Akad-akad itu diterapkan tanpa memakai definisi yang disusun oleh perbankan syariah. Permodalan diperoleh tanpa meminta pinjaman bank, melainkan langsung melalui kemitraan antara kumpulan individu yang saling mengenal. Hal ini akan melahirkan restorasi  perniagaan Islam berupa kembalinya  pasar terbuka Islam, munculnya jaringan pedagang kolektif (karavan) dan kembalinya unit-unit produksi mandiri (gilda). Realitas turunan itu tidak akan ditemukan bila qirad dan syirkah versi perbankan syariah yang dijalankan.

Utopikah pandangan Vadillo? Di Indonesia, sejak tahun 2001, koin dinar-dirham telah dicetak dan kini beredar melalui puluhan wakala –gerai penukaran rupiah ke dinar-dirham. Peredaran dan baku mutunya, berada dalam otoritas amirat yang menginduk ke World Islamic Trade Organization (WITO). Seiring itu, hari ke hari, pengguna koin berbahan logam mulia itu terus bertambah. Mereka menggunakannya untuk berbagai urusan; membayar zakat, sedekah, upah, mahar, investasi, jual-beli hingga memenuhi ketentuan dalam menjalankan kontrak qirad dan syirkah. Sepanjang tahun ini, pasar terbuka Islam dengan transaksi memakai koin dinar-dirham telah diselenggarakan di berbagai tempat; Mesjid Salman ITB, kampung nelayan Cilincing,  gedung  MUI Depok, Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran, Pesantren Daarut Tauhid, Gegerkalong, dan Kampus UGM, Yogya dan lainnya. Tak luput, teknologi internet juga dikembangkan untuk memudahkan pelbagai transaksi. Semua aktifitas muamalah itu sukses dijalankan tanpa peran perbankan syariah.  ***

Maret 10, 2010 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Umar Ibrahim Vadillo, Pelopor Kembalinya Dinar Dirham

AKHIR Juni 2009. Profesor  Umar Ibrahim Vadillo  mampir ke Indonesia. Dekan Dallas College  Cape Town, Afrika Selatan itu diundang menjadi salah satu pembicara dalam International Conference of Islamic Economic System (ICIES) di  Yogyakarta. Topiknya,  mengembalikan dinar sebagai alat tukar sesuai syariah. Kegiatan tersebut kerjasama STIE Hamfara Yogyakarta, CISMOR, Universitas Doshisa Jepang dan Universitas Gadjah Mada. Pada undangan yang disebar, panitia konferensi menambahi kalimat ‘the man behind dinar’ di belakang namanya. Sebuah keterangan yang menunjukkan sepak terjang Vadillo selama ini.

Sosok Vadillo memang tidak lepas dari dinar. Cendekiawan muslim asal Spanyol berusia 45 tahun itu adalah pelopor kembalinya dinar –juga dirham– di abad moderen ini. Tahun 1992,  Vadillo mencetak kembali dinar-dirham di Granada. Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram. Dirham, koin perak 2,9 gram. Spesifikasi ini merujuk standar yang ditetapkan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Selama 14 abad, dinar-dirham berjaya sebagai alat tukar di negeri-negeri muslim. Namun, pasca jatuhnya Kekhalifahan Usmani Turki (1924), kedua mata uang berbahan logam mulia itu perlahan menghilang. Dunia  beralih menggunakan uang kertas (fiat money) –sistem mata uang yang tidak bersandar pada emas dan perak.

Bersama World Islamic Trade Organisation (WITO) yang dipimpinnya, Vadillo gencar memperkenalkan koin dinar-dirham ke berbagai kalangan termasuk menemui pelbagai pemimpin di dunia. Vadillo adalah sosok di balik promosi dinar yang kemudian mendapat dukungan dari mantan Perdana Menteri Turki  Necmettin Erbakan,  Raja Hassan II Maroko dan mantan PM Malaysia Mahattir Mohammad. Saat ini, Vadillo terlibat dalam pembangunan infrastruktur penerapan dinar di Kelantan, Malaysia untuk digunakan sebagai alat pembayaran gaji para pegawai pemerintah setempat dan pembayaran listrik dan air.

Kembali menggunakan dinar-dirham, bukan romansa masa silam melainkan bagian dari menegakkan sunnah Rasulullah yang runtuh. Dinar-dirham adalah rahmat Islam bagi dunia.  Sebaliknya, uang kertas adalah sumber malapetaka bagi bumi dan umat manusia. Menurut Vadillo, penggunaan uang kertas adalah mesin utama tegaknya kapitalisme di dunia saat ini.

Vadillo telah menulis sejumlah buku tentang dinar-dirham dengan segala aspek yang melingkupinya. Diantaranya, The End of Economics (1991), Fatwa on Paper Money (1991), The Workers have been Told a Lie about Their Situation (1992),  A General Idea of the Opening to Islam in the XXI Century (1994) dan Return of the Gold Dinar (1996). Beberapa di antaranya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Jejak pemikiran Vadillo juga bisa disimak dalam Menembus Batas, Damai Untuk Semesta (2008), buku yang berisi kumpulan wawancara Liem Siok Lan dengan berbagai tokoh dunia berpengaruh –salah satunya dengan Vadillo.

Menurut Vadillo, kapitalisme dalam perspektif Islam adalah berarti riba (usury). Dan, Islam tegas mengharamkannya. Praktik riba –sebagai doktrin utama kapitalisme– di era  moderen ini terjelma melalui penciptaan uang kertas (fiat money). Motornya adalah perbankan yang mencetak uang dari kehampaan lalu memungut bunga-utang. Dari sinilah pelbagai petaka tercipta. Uang kertas, bunga-utang, memporak-porandakan pelbagai sendi  kehidupan umat manusia. Berbagai kerusakan berlangsung sangat cepat dan fantastis di bumi kita hanya dalam kurun waktu 75 tahun terakhir. Kemiskinan, pengangguran, kelaparan, krisis lingkungan, moral hazard dan sebagainya –adalah sejumlah dampak nyata riba. Maka, bila ingin lepas dari kapitalisme, jawabannya adalah: tinggalkan sejumlah praktik riba itu lalu beralih sepenuhnya pada muamalah –tata perniagaan Islam.

Kembali menggunakan dinar-dirham, adalah pilar pertama penegakan muamalah itu.   Buku-buku Vadillo, mengurai bagaimana implementasi dinar-dirham  dalam kehidupan kekinian. Selain sebagai alat tukar, kdua koin itu juga digunakan untuk membayar zakat,  mahar dan investasi.

Pilar kedua, menghidupkan kontrak perdagangan yang halal dan adil berupa qirad (pinjaman usaha) dan syirkah (kemitraan). Kontrak jenis ini akan menghapuskan ketergantungan masyarakat moderen pada perbankan yang hidup dengan memungut bunga-utang dan menciptakan uang dari kenihilan. Ketiga, kembalinya karavan atau kumpulan kafilah pedagang yang kehadirannya akan mengembangkan perdagangan melalui logistik dan aktifitas ekspor.

Keempat, kembalinya guild atau sentra-sentra  kewirausahaan mandiri. Ajaran Islam, menurut Vadillo,  mengedepankan bertumbuhnya kumpulan manusia (masyarakat) yang mampu berwirausaha. Bukan masyarakat buruh yang hidupnya mengabdi pada majikan. Seiring bertumbuhnya gulid, akan berdiri pula pilar kelima, yaitu, kembalinya pasar terbuka Islam. Pasar jenis ini tidak mengenal sewa, pajak dan cukai. Semua orang bebas berdagang sepanjang barang yang diperdagangkan halal sesuai syariat. Di pasar itu pula, dinar-dirham digunakan sebagai alat tukar. Kehadiran kembali pasar terbuka Islam menjadi jalan pembuka melepaskan dominasi monopolistik pasar moderen yang dikenal melalui supermarket atau hypermarket yang dalam raktiknya terbukti telah menyapu bisnis para pedagang kecil.

Seluruh bangunan muamalah itu bukan wacana apalagi utopia. Vadillo merujuk dan mengumpulkan pelbagai praktik historis yang sukses diamalkan oleh generasi umat Islam pertama di Kota Madinah al-Munawarah pada masa kepemimpinan Rasululah SAW dan berketerusan hingga tiga generasi berikutnya: sahabat, pengikut (tabi’un) dan setelah pengikut (tabi’ut-tabi’in).

Di Indonesia saat ini, berbagai aspek muamalah itu mulai diterapkan. Sejak tahun 2001, misalnya, koin dinar-dirham telah dicetak dan beredar di Indonesia melalui wakala –jaringan gerai penukaran rupiah ke dinar-dirham. Peredaran dan baku mutu koin berbahan logam mulia itu berada dalam otoritas amirat yang menginduk ke WITO. Selain itu, pasar terbuka Islam juga mulai dihidupkan. Beberapa di antaranya telah digelar di Mesjid Salman ITB, Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran, Pesantren Daarut Tauhid, Gegerkalong, dan Kampus UGM, Yogya. Seiring itu, komunitas pengguna dinar-dirham juga kian bertambah luas.

Menjadikan khasanah ‘Islam tradisional’ sebagai rujukan memang keistimewaan karya-karyanya. Vadillo lahir, dibesarkan di Barat dan memahami sejarah serta bangunan  pemikiran Barat.  Namun, setelah memeluk dan mempelajari Islam, Vadillo tiba pada kesimpulan bahwa pola pikir, konsep ekonomi dan sistem keuangan moderen Barat berdiri kokoh pada pilar-pilar riba. Dalam sejumlah bukunya, Vadillo membentangkan berbagai bukti dan temuannya  betapa sistem ekonomi Barat telah gagal  menyejahterakan umat manusia.

Daftar buku yang mengupas topik itu bisa terus diperpanjang. Heidegger for Muslim (2006) –ditulisnya bersama Abdalhaqq Bewley– mengurai bagaimana metode dan konsep berpikir filsafat Barat (non-Islam) terbukti gagal mengatasi pelbagai persoalan. Buku ini berasal dari materi perkuliahan yang diberikan Vadillo di Dallas College. Bahkan, Vadillo juga menghindari pendekatan kelompok Islam modernis –yang menurutnya telah melakukan kekeliruan karena mencampurkan cara pandang Barat dalam memahami Islam.  Modernisme Islam, tegas Vadillo,  justru membuat umat Islam kian terpuruk dalam kapitalisme.

Saat sebagian umat Islam merayakan kemunculan bank  syariah, misalnya, Vadillo justru mengeritiknya. “Bank syariah adalah kuda troya dalam rumah Islam,” tulisnya.  Kritik serupa juga ia tujukan pada asuransi syariah, pasar modal syariah, kartu kredit syariah dan pelbagai produk perbankan lainnya yang kini ramai dilabeli kata “syariah”. Menurut Vadillo, “Semua labelilasi syariah itu hanya merupakan upaya terselubung sekelompok pihak untuk melemahkan perlawanan Islam menentang riba selama 14 abad”. Sungguh, ini  adalah kritik yang tajam.

Bukunya yang lain, Esoteric Deviation in Islam (2003),  Vadillo menunjukkan lebih detil berbagai potret modernisasi di dunia Islam itu kian membuat umat Islam terpinggirkan. Pada buku setebal seribu halaman itu digambarkan, Islam sama sekali tidak membutuhkan modernisme. Alih-alih modernisme Islam mampu menghapus kapitalisme, yang terjadi justru hukum Islam telah diselewengkan untuk memperkaya sistem kapitalisme itu sendiri. Hanya Islam, tanpa pengaruh modernisme,  sebagai satu-satunya jalan untuk ditempuh.  “Islam bukan anti Barat. Islam hanya untuk bertakwa kepada Allah” tegas Vadillo.

Kentalnya warna Islam dalam karya-karya Vadillo serta kegigihannya dalam berdakwah, tidak bisa dilepaskan dari peran Syeikh Dr Abdalqadir as-Sufi, mursid tarikat Shadiliah-Darqawi yang menjadi gurunya. Dari Syeikh as-Sufi, Vadillo mendalami fikih, muamalah, dan tasawuf. Sebelumnya, Vadillo menimba ilmu di Augustinian College dan Universitas Madrid.

Syeikh as-Sufi juga dikenal sebagai pemimpin Murabitun World Wide, komunitas muslim Eropa yang kini mengajar dan menetap di Cape Town, Afrika Selatan. Dia menulis berbagai artikel dan lusinan buku melingkupi berbagai topik; fikih, muamalah, tasawuf, politik, prosa dan novel. Pemikiran Syeikh as-Sufi  bisa disimak di situsnya www.shaykhabdalqadir.com. Sebagaimana Vadillo, murid-murid Syeikh as-Sufi yang banyak tersebar di berbagai negara di dunia –termasuk Indonesia— juga gencar menyuarakan perlawanan atas riba dan  menyerukan umat  Islam kembali pada muamalah. ***

Maret 10, 2010 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Goethe, Islam dan Uang Kertas


DI  JAGAD  kesusastraan, nama Johann Wolfgang von Goethe tentu sudah tidak asing lagi. Lahir di Frankfurt, Jerman, 24 Agustus 1748, Goethe dikenal sebagai pujangga terbesar di antara yang besar dalam sejarah kesusastraan Eropa. Lebih dua setengah abad berlalu, nama dan karyanya terus diperbincangkan,  tak hanya di Eropa namun juga di Indonesia.

Merayakan 260 tahun kelahiran Goethe, The Habibie Centre (THC) Jakarta menggelar diskusi publik tentang sosok manusia multi talenta itu pada pertengahan Ramadhan silam.   Topiknya, persinggungan Goethe dengan ajaran Islam.  Topik ini menarik karena menyingkap sisi lain kehidupan Goethe yang boleh jadi tidak banyak terungkap ke publik Tanah Air.

Nurman Kholis, peneliti dari Litbang Departemen Agama RI yang menjadi pembicara utama pada diskusi itu membentangkan sejumlah bukti betapa Goethe sangat akrab dengan khasanah ajaran Islam. Itu terekam dari berbagai teks yang pernah ditulis Goethe semasa hidupnya, mulai dari syair, lakon drama hingga surat-surat yang pernah dikirimkannya ke  berbagai pihak. Kesimpulan Nurman, Goethe meyakini keesaan Allah (tauhid), mengagumi sosok Nabi Muhammad SAW serta memercayai kebenaran al-Quran.

Tentang Nabi Muhammad, Goethe menulis buku kumpulan puisi berjudul Mohamets Gesang (Dendang Nabi Muhammad: 1772). Salah satu petikan syairnya menuliskan: “Juga kalian mari, mari/ Dan kini lebih ajaib dia membesar-meluas/ Seluruh ras menyanjung pangeran ini”. Pada syair lainnya, Goethe menggambarkan indahnya hubungan Nabi Muhammad dan al-Quran: “Dia seorang Rasul dan bukan penyair, dan oleh karenanya Al-Quran ini hukum Tuhan. Bukan  buku karya manusia yang dibuat sekadar bahan pendidikan atau hiburan”. Lainnya, Goethe menyatakan: “Apakah Al-Quran  itu abadi?/ Saya tidak meragukannya/ Inilah buku dari buku-buku/ Saya meyakini kitab muslim itu”.

Keterpesonaan Goethe bisa terus diperpanjang. “Dan kebenaran itu pasti bersinar/ Apa yang diakui oleh Muhammad/ Hanya dengan pengertian satu Tuhan/ Dia menguasai segalanya di dunia ini”. Bahkan, dalam syair yang lain, Goethe terang menyatakan Islam sebagai pilihan hidupnya: “Sungguh bodoh dalam setiap hal/ Orang memuji pendapatnya sendiri/ Apabila Islam berarti berserah diri kepada Tuhan/ Dalam Islamlah kita hidup dan mati”. Lainnya, pada sebuah syair yang ia tulis di bulan Februari 1816,  Goethe menyatakan: “Puisi ini tidak menolak kebenaran bahwa diri ini adalah seorang Muslim”.

Sebelum  Nurman, identitas keislaman Goethe sudah lama bergema di Eropa. Tahun 1995, Syeikh Abdalqadir al-Murabit, mursyid  tariqat  syadziliya-darqawiyah lebih awal menyatakan Goethe adalah seorang muslim. Ulama yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan Islam di Eropa itu menyampaikan hal tersebut dalam buku  berjudul Fatwa on the Acceptance of Goethe as Being a Muslim, terbit di Weimar, Jerman. Namun, Goethe tidak mendapat pengajaran khusus tentang shalat, puasa, zakat atau berhaji. Kendati demikian, Goethe bangga dan penuh emosi menghadiri shalat Jumat. Di lingkungan muslim Eropa pada masanya, Goethe  dipanggil dengan nama Muhammad Johann Wolfgang Goethe. Fatwa Syeikh al-Murabit juga dipublikasikan dalam tabloid berbahasa Jerman,  Islamische Zeitung Nr. 5/1995 dengan judul “Fatwa uber die Anerkennung Goethes als Muslim”

Kekaguman Goethe pada Islam merupakan hasil pengembaraan panjang. Saat belajar ilmu hukum di Universitas Leipzig, ia telah tertarik mempelajari kesusastraan Timur. Hal itu menjadi pintu masuk baginya mengenal Islam. Goethe membaca, terpesona, lalu memburu manuskrip asli syair-syair sufistik karya para sufi agung: Rumi, Hafiz, Ferdusi, Dschami, Saadi, dan Attar. Goethe juga membaca tafsir al-Quran, sejarah Nabi Muhammad, kitab fikih, hingga kumpulan doa. Ketertarikannya pada al-Quran terpacu setelah membaca al-Quran terjemahan JV Hammer dalam bahasa Jerman dan karya G. Sale dalam bahasa Inggris. Hasil pembacaan itu kelak membuat Goethe mempelajari cara menulis dan membaca aksara Arab. Setelah kematiannya (1832), Goethe diketahui menyalin sejumlah ayat al-Quran dengan tulisan tangannya sendiri. Pembaca yang penasaran bisa menemukan sejumlah dokumentasinya dalam buku yang ditulis Sebastian Donat (1999) berjudul Goethe,  ein letztes Universalgenia? (Goethe, Seorang Serba Bisa yang Terakhir?)

***

Semasa hidupnya, Goethe memiliki banyak minat. Selain sastra, ia juga mendalami ilmu hukum, arsitektur, kimia, filsafat, geologi, matematika, meteorology dan militer.  Namun, agaknya jarang diketahui publik soal ketertarikan Goethe pada urusan moneter, khususnya soal penciptaan uang. Menurut Nurman, lakon Faust yang ditulis Goethe, salah satunya  berisi kritik tajam Goethe terhadap kebijakan penerbitan uang kertas di Eropa. Masa Faust digarap, Eropa sedang berada dalam transisi dari penggunaan uang emas menuju uang kertas.

Mengutip penelitian Sebastian Donat, menurut Goethe, penciptaan uang kertas menggantikan uang emas merupakan hasil rekayasa setan. Dalam Faust diceritakan, Raja kehabisan uang emas setelah mendanai perang. Dia lalu  meminta bantuan memperoleh dana segar dari dokter Faust yang bersekutu dengan iblis bernama Mephistopheles. Kepada Raja,  Mephistopheles menawarkan solusi agar mencetak uang dari bahan kertas saja. Uang jenis itu gampang dibuat dibandingkan uang emas yang harus ditambang lebih dulu dan jumlahnya terbatas. Praktek penciptaan uang kertas inilah yang ditentang Goethe.

Selain Faust, Goethe  juga menulis 46 buku lain yang berisi sikap skeptisnya terhadap pemberlakuan uang kertas. Sikap Goethe itu sejalan dengan Islam. Imam al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan, Allah menciptakan emas dan perak agar keduanya menjadi hakim yang adil. Senada, Syeikh Taqyuddin An-Nabhani menyatakan, satuan perhitungan dan alat tukar menurut syariah adalah emas dan perak. Sejarah Islam terang menunjukkan hal ini. Sejak era Rasulullah hingga Kekhalifahan Usmani, umat muslim menggunakan dinar  dan dirham. Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram. Dirham, koin perak 2,9 gram. Keduanya digunakan sebagai alat tukar, penakar nilai,  pembayar zakat, mahar dan investasi.

Meminjam pendapat Goethe, uang kertas merupakan hasil ciptaan setan maka tidak heran bila penggunaannya yang kini dominan dipakai umat manusia di dunia menyebabkan pelbagai malapetaka terjadi. Sudah tak terbilang negara yang hancur perekonomiannya akibat resesi dan inflasi, yang disebabkan anjloknya nilai tukar mata uang kertas negara tersebut. Uang kertas, disebabkan terbuat dari kertas, sejatinya tak bernilai. Ia dipercaya hanya karena diberi cetakan angka di atas lembarannya oleh otoritas politik. Itu membuatnya rawan spekulasi. Bandingkan dengan uang emas atau perak yang bernilai ril disebabkan kandungannya.  Spekulasi sulit terjadi. Iris-irislah sekeping koin emas maka setiap serpihannya masih tetap berharga. Namun,  robeklah selembar uang kertas maka ia segera tidak akan berguna.

Mengemukakan pandangan Goethe tentang uang, kiranya dapat menjadi renungan bagi umat Islam Indonesia dan dunia saat ini untuk memikirkan kembali penggunaan uang emas dan perak. Patut didukung, kini koin dinar emas dan dirham perak telah kembali dicetak dan beredar di Tanah Air bahkan dunia. Perlahan, kian panjang barisan orang yang menyadari kelebihan uang berbahan baku emas itu dibandingkan uang kertas. Sifat emas dan perak yang universal, juga memungkinkan uang jenis ini menembus sekat-sekat budaya, sosial bahkan bisa diterima penganut agama manapun. Perdagangan yang adil antar manusia, antar negara, bisa ditegakkan. Al-Gazali mengatakan, “Dari sekian banyak nikmat Allah, adalah penciptaan emas dan perak. Dengan mata uang inilah  maka dunia tegak”.

Ucapan al-Gazali relevan dengan konteks dunia hari ini. Keadilan ekonomi sulit ditegakkan bila uang kertas masih diterapkan sebagai alat tukar. Tengoklah, ironi yang dialami Indonesia. Hutan, tanah, minyak, isi laut, tambang, hasil bumi lainnya yang dikaruniakan Tuhan kepada negeri ini ditukar oleh bangsa lain hanya dengan lembaran kertas-kertas cetakan yang sejatinya tak berharga. ***

Desember 2, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Membongkar Borok Demokrasi

Ilustrasi DemokrasiBANYAK pemuja demokrasi di Indonesia saat ini.  Demokrasi dipahami bukan sekedar alat namun juga tujuan mencapai kesejahteraan, kesetaraan  dan keadilan. Maka, sesiapa yang meragukan demokrasi atau menomorduakannya, dianggap bukan polah yang populer. Tindakan “merendahkan” demokrasi,  bisa menjadikan si pelakunya sebagai tertuduh:  dicap tirani, otoriter, kolot, momok modernitas, atau, minimal,  bagian dari Orde Baru.

Jadilah demokrasi –sebagai alat maupun tujuan– menjadi pembicaraan dan praktik nomor satu di Indonesia saat ini. Demokrasi menjadi kosakata penting pada segenap ranah kehidupan kita. Saat Wapres Jusuf Kalla mengatakan “demokrasi itu nomor dua” ia segera dihujani kritik. Pandangan JK ini dianggap melemahkan gerakan demokrasi yang sedang bersemi di Tanah Air. Apalagi, pandangan tersebut berseberangan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekondannya. Saat berpidato menerima penghargaan Medali Demokrasi dari sebuah organisasi internasional, SBY mengatakan, demokrasi telah menjadi bagian penting dan permanen dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan, lanjut SBY, Islam dan demokrasi di Indonesia bisa bergandengan tangan.

JK boleh jadi sedikit orang berani mengeritik keberadaan dan peran demokrasi. Namun, Zaim Saidi lebih lagi. Membaca judul buku terbaru karngan Direktur PIRAC ini, sudah terang sikap penulisnya. Alih-alih memuja demokrasi, buku yang diterbitkan Republika (September, 2007) ini justru membentang sisi gelap demokrasi.

Menurut Zaim, demokrasi adalah usaha memperbudak umat manusia demi penegakan negara budak (slave state). Sebuah pernyataan yang jelas melawan mainstream. Penguasa yang dipilih melalui sistem demokrasi, lanjut Zaim, cuma boneka. Mereka hanya menjalankan keputusan dan kepentingan kelompok elit kapitalis, yaitu oligarki bankir internasional yang menguasai ekonomi dunia saat ini. Di mata Zaim, demokrasi tak lebih dari produk kapitalisme yang menindas.

Kapitalisme yang dimaksud Zaim adalah bangunan sistem ekonomi moderen yang berdiri di atas fondasi riba. Riba adalah hal terlarang dalam Islam.  Pada negara moderen, lanjut Zaim, riba justru direduksi dalam konstitusi negara moderen melalui tampilnya perbankan (bankir) sebagai pemonopoli pencetakan uang kertas (fiat money), mengucurkan kredit (utang) lalu memungut bunga. Tali-temali ketiganya disebut Zaim dengan konstruksi negara fiskal.

Dalam kontruksi negara fiskal, bank memberikan uang –dalam bentuk cetakan atau melalui ketikan di byte komputer– kepada pemerintah untuk mendanai pelbagai hal yang disebut proyek pembangunan. Dari sini kemudian muncul  istilah ’utang negara’ (public debt) hingga setiap warga negara kemudian dikenakan tanggungjawab membayar utang tersebut.  Bentuknya, melalui pemajakan. Zaim melihat ada persoalan mendasar di tingkat ini, yakni rakyat telah dijaminkan dalam kontrak utang-piutang yang dilakukan para pengelola negara kepada perbankan. Dalam kontruksi negara fiskal, simpul Zaim, fungsi konstitusi pada negara moderen hanya memastikan setiap orang menjadi pembayar pajak.

Sebab itu, pada level tersebut, penguasa sesungguhnya adalah para bankir. Pemerintahan yang dipilih –siapapun mereka— sejatinya adalah pihak yang berutang kepada perbankan. Jadilah kemudian mereka hanya pemerintahan boneka  yang menjalankan kepentingan elit perbankan. Bisa dimaklumi, saat terbetik berita di media massa perihal Bank Sentral mengeluarkan keputusan atas tingkat suku bunga di sebuah negara maka keputusan itu selalu memberi dampak luas pada kebijakan nasional negara tersebut. Ini bukti, demokrasi itu hanya ilusi. Demokrasi menjelma menjadi sistem politik tanpa kekuasaan.

Di sisi lain, demokrasi sebagai sebuah metode memperlihatkan kelemahannya saat suara rakyat terbanyak menjadi dasar utama terbitnya sebuah keputusan hukum. Zaim mencontohkan, seandainya kehendak kolektif publik mengatakan bahwa ‘riba itu halal’ maka penguasa mengikutinya dan memutuskan bahwa ‘riba itu halal’. Keputusan ini dianggap demokratis karena berdasarkan suara mayoritas. Namun, keputusan yang dianggap demokratis itu tidak serta merta menafikan ketetapan syariah bahwa ‘riba itu haram’.  Pada konteks ini, pandangan yang menyatakan bahwa demokrasi sejalan dengan Islam praktis terbantahkan. (hal. 12)

Lugas dan gamblang buku ini mengeritik demokrasi sehingga, lanjut Zaim, umat manusia sejatinya tidak memerlukannya. Sebagai gantinya, Zaim menawarkan Islam sebagai jalan keluar.  Islam, dalam buku ini  dijabarkan sebagai cara hidup (amalan) dengan menghidupkan kembali muamalat, restorasi zakat, pasar terbuka, lembaga wakaf, kontrak bisnis syirkat, penggunaan kembali mata uang dinar emas dan dirham perak serta karavan dagang.

Konsepsi ini sama sekali berbeda dengan pelbagai instrumen yang dikenal dalam negara moderen (baca: negara fiskal) seperti perbankan, partai politik, parlemen,  sistem uang kertas, utang berbunga dan pajak. Zaim juga mengkritisi segala bentuk dan usaha pengislaman  pelbagai produk modernitas yang marak terjadi dalam dunia Islam hari ini seperti perbankan Islam, asuransi Islam,  bursa saham Islam,  negara Islam, hingga demokrasi Islam. Menurutnya, apa yang disebut dengan modernisme Islam yang kini banyak disuarakan para pemikir Islam, justru memastikan Islam kian terjerumus ke dalam kapitalisme.

Buku ini merupakan hasil lawatan spiritual dan intelektual Zaim selama berada di Cape Town, Afrika Selatan sepanjang tahun 2005-2006. Secara spiritual, Zaim mengikuti denyut kehidupan komunitas umat Islam di sana yang sukses menjalankan syariat Islam menurut tatanan amal Madinah, yaitu merujuk perilaku penduduk Madinah yang hidup pada era tiga generasi pertama Islam. Mereka sukses menjalankan cara hidup Islami sebagai jalan keluar atas persoalan yang ditimbulkan modernitas. Secara intelektual, Zaim memperkuat dalil-dalil ilmiah-akademik dalam bukunya melalui riset di Dallas College, kampus setempat.

Melalui dua pendekatan itu, buku ini menjadi berbeda dengan kebanyakan buku para peneliti kontemporer Indonesia yang modernis, liberal dan sekuler. Bila dihadapkan dengan cara Zaim, cara berpikir mereka justru malah melestarikan kapitalisme, melanggengkan ilusi tentang demokrasi, dan   semakin mengokohkan kontruksi negara fiskal. ***

(Catatan dari Bedah Buku Ilusi Demokrasi, Istora Senayan, Jakarta, Ahad, 9 Maret 2008)

November 4, 2009 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Borok Sistem Keuangan Moderen

satanicfinance.jpg

Judul : Satanic Finance, True Conspiracies

Penulis : A. Riawan Amin

Penerbit : Celestial Publishing

Cetakan : 2007

Tebal : xvi + 150 hal

SISTEM keuangan moderen yang diterapkan dunia saat ini adalah “sistem setan”, demikian A. Riawan Amin menyebut dalam bukunya Satanic Finance, True Conspiracies. Menurut Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia itu, sistem keuangan moderen adalah biang kerok kian bertambahnya jumlah orang miskin, pengangguran, inflasi dan pelbagai kekacauan moneter lainnya saat ini. Sistem ekonomi moderen memang tidak dibuat untuk memakmurkan umat manusia melainkan memiskinkan mereka demi mengabdi pada segelintir orang.

Membaca buku ini sungguh menyentak kesadaran karena Riawan membongkar pelbagai borok praktik keuangan moderen yang selama ini kita anggap benar dan final. Menurut Riawan, satanic finance itu hidup karena ditopang Three Pilars of Evil (tiga pilar setan). Pertama, fiat money –uang kertas. Kedua, fractional reserve requirement –cadangan wajib bank. Ketiga, interest –bunga.

Mari menyigi satu persatu. Pilar setan pertama adalah penciptaan uang kertas (fiat money). Menurut Riawan, dibalik pembuatan uang kertas terdapat muslihat. Uang kertas diciptakan dari ketiadaan karena penerbitannya tidak disokong emas atau perak. Uang kertas bernilai (dianggap bernilai) hanya karena diberi cetakan angka oleh otoritas moneter yang menerbitkannya. Sejatinya, ia hanya lembaran kertas biasa, tak beda dengan kertas cetakan lainnya.

Disebabkan terbuat dari ketiadaan, maka fiat money rentan spekulasi. Saat penciptaannya melebihi jumlah barang dan jasa yang bisa diproduksi maka inflasipun terjadi. Melalui fiat money pula, kolonialisasi moderen dijalankan. Tidak perlu serangan militer untuk menguasai negara lain.

Dolar AS, sebut buku ini, adalah contoh nyata bagaimana AS mudah menjajah dunia. Melalui sistem uang kertas, AS mempermainkan nilai mata uang negara-negara ketiga yang bersandar kepadanya. Penciptaan uang kertas adalah konspirasi. Pilar setan kedua, fractional reserve requirement (FRR) –kebijakan yang menempatkan bank sebagai pihak yang leluasa mengucurkan pinjaman (kredit) kepada deposan. Di sini, bank, termasuk bank sentral, ikut mencetak fiat money lalu menggandakannya.

Pilar kedua ini bertemali dengan pilar ketiga; interest (bunga) –praktik lumrah berikutnya dalam perbankan. Bunga dipungut oleh bank karena beberapa alasan: sebagai biaya servis atas transaksi pinjaman (utang) atau kompensasi mendapatkan hasil produktif bila uang tersebut diinvestasikan dalam bentuk lain.

Apapun alasannya, Taurat, Injil dan Al Quran melarang memungut bunga karena termasuk riba. Seluruh kitab agama langit itu sepakat, memungut riba (bunga) menyebabkan pelbagai kerusakan. Dalam praktiknya, bunga menuntut tercapainya pertumbuhan ekonomi yang terus menerus, kendati kondisi ekonomi aktual sudah jenuh. Bunga mendorong persaingan di antara para pemain dalam ekonomi. Bunga memosisikan kesejahteraan pada segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas. (hal. 48).

Bagaimana melawan satanic finance ini? Menurut Riawan, tidak perlu dilawan. Cukup beralih ke sistem lain yang sudah teruji yakni kembali menggunakan mata uang dinar emas dan dirham perak serta tinggalkan riba. Melalui dua hal ini maka “tiga pilar setan” akan runtuh dengan sendirinya. (hal. 112).

Dinar adalah koin emas murni seberat 4,25 gram; dirham adalah koin perak seberat 3 gram. Mata uang ini patut dikedepankan saat ini. Keduanya bernilai riil sebab terbuat dari logam mulia. Ini berbeda dengan uang kertas yang hakikatnya tak lebih dari kertas cetakan belaka. Potonglah sekeping dinar emas menjadi bagian-bagian kecil, seluruh bagiannya tetap berharga namun guntinglah selembar uang kertas maka ia sama sekali tak akan berguna.

Dinar-dirham juga stabil. Sejarah menunjukkan, mata uang ini tidak mengenal inflasi sementara fiat money adalah biangnya inflasi. Banyak kalangan menyebut dinar-dirham sebagai mata uang surga (the heavens currency). Maksudnya, bukan mata uang yang digunakan di surga melainkan sebagai penjaga keadilan yang menjadi salah satu ciri penghuni surga (hal. 107).

Dinar-dirham hanya sekadar nama. Esensinya, keduanya adalah logam berharga: emas dan perak. Sejarah menunjukkan, ribuan tahun peradaban manusia menempatkan emas dan perak sebagai alat moneter. Koin emas pertama kali digunakan 500 tahun sebelum masehi tatkala Raja Croesus berkuasa hingga ke era Julius Caesar dan Kaisar Nero. Dinar sendiri dikenal sebagai mata uang Byzantium dan dirham dari Persia. Belakangan, Nabi Muhammad SAW mengakuinya sebagai mata uang. Koin dinar emas dan dirham perak terakhir digunakan sebagai mata uang pada tahun 1924 seiring jatuhnya Kekhalifahan Osmaniah di Turki.

Tidak seperti buku ekonomi yang umumnya terkesan berat, membaca buku ini justru enteng. Dengan bahasa yang ringan, Riawan merangkai semua gagasannya melalui kisah suku Sukus dan Tukus yang hidup di pulau imajiner bernama Pulau Aya dan Pulau Baya. Melalui kisah mereka, alumnus Institut Teknologi New York dan Universitas Texas, AS itu mengajak pembaca menjelajahi sistem satanic finance, siapa koleganya, bagaimana trik dan dogmanya. Sepanjang penceritaannya, penulis buku laris The Celestial Management itu menghidupkan sosok setan sebagai tukang cerita. Lewat sudut pandang tokoh terkutuk inilah, Riawan membentangkan argumentasinya seputar carut-marut satanic finance.

Buku karya Director International Islamic Financial Market ini patut dibaca oleh siapapun yang menginginkan keluar dari kepengapan dan kekacauan sistem keuangan moderen saat ini. ***

Januari 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Setelah Kematian Filsafat

tn.jpg

 Judul  : Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans

Pengarang : Abdalhaqq Bewley dan Umar Ibrahim Vadillo

Pengantar : Zaim Saidi

Penerjemah : Nurhasan

Penerbit : Pustaka Adina

Tebal  : 126 + xxv

Cetakan 1 : Juli 2006  

MARTIN Heidegger (1889-1976) tentu bukan sosok asing bagi pembaca filsafat. Filsuf asal Jerman itu dikenal sebagai deklarator yang punya tudingan menohok tentang filsafat. Filsafat telah mati, katanya. The End of Philosophy dan Being and Time (1927) dua karyanya yang terkenal (ia telah menulis lebih dari seratus buku dan ribuan esai) dianggap sebagai risalah yang mengakhiri perdebatan filsafat yang berlangsung selama 2500 tahun.

Lahir dan tumbuh di Eropa, Heidegger akrab dengan pikiran para filosof Barat. Jamak dipahami, akar filsafat Barat bertumpu pada pengakuan terhadap rasionalitas, pembebasan akal dari ikatan moral serta pengagungan kekuasaan individu dalam menentukan nasib sendiri (eksistensialis). Berlandaskan prinsip rasionalitas, manusia mengukur segala hal tentang dirinya dan dunia disekitarnya dengan satu ukuran yakni, kebenaran ilmiah.

Penampilan awal ide-ide ini bersamaan dengan terbitnya Renaisans (Era Kebangkitan) di Florentine, Eropa, abad ke-16. Ide-ide sepanjang Renaisans itu selanjutnya melahirkan dominasi sains, dan berkembang, tak hanya di daratan Eropa namun menggenangi sekujur bumi. Dominasi berpikir sains ini mencapai puncak pada abad ke-18, ditandai dengan revolusi ilmu pengetahuan di Eropa yang kemudian melahirkan kosakata berikutnya, modernisme.

Namun Heidegger tak silau dengan pesona sains yang dibawa filsafat Barat. Sebagai filosof generasi terakhir, mantan Rektor Universitas Marburg Jerman ini malah merayakan pesta perpisahan bagi filsafat. Selain berkata, “filsafat telah mati”, Heidegger juga menelanjangi cara berpikir (filsafat) Barat dengan berujar, “ada cacat mendasar dalam cara berpikir kita”. 

Buku Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans ditulis oleh Abdalhaqq Bewley dan Umar Ibrahim Vadllo, merangkum pelbagai pandangan Heidegger tentang bangunan pikir filsafat Barat yang dianggap rapuh itu. Dasar-dasar filsafat dan ilmu pengetahuan Barat yang dianggap menggerakkan peradaban dunia lebih dari 400 tahun sejak masa Renaisans, sejatinya telah terbantahkan, bahkan runtuh, justru di tangan filosof dan saentis Barat sendiri. Melalui Heidegger, Bewley dan Vadillo sampai pada kesimpulan, filsafat Barat dengan segenap turunannya yang saat ini mendominasi bidang ekonomi, politik, sosial, perbankan, psikologi, teknologi, budaya, demokrasi, dan ranah lainnya, sesungguhnya tidak berdaya mengantar umat manusia (dan dunia) pada pencerahan kehidupan.

Buku ini merupakan dua risalah terpisah yang digunakan untuk dua kepentingan terpisah pula. Topik pertama, sisi gelap Renaisans, awal ditulis oleh Abdalhaqq Bewley sebagai bahan ceramahnya di sejumlah tempat di Inggris. Ahli fikih Islam ini mengajak kita melihat sejarah Renaisans serta dampak yang ditimbulkannya. Renaisans, menurut Bewley, awal penanda tersingkirnya Tuhan dalam kehidupan manusia di Barat (Eropa), sesuatu yang tidak terjadi sebelumnya. Dalam sejarah, Renaisans melahirkan pandangan humanisme-sekular yang mengikis peran religiusitas Yahudi-Kristen di Eropa. Filsafat Barat sebagai produk Renaisans, berpijak pada mitos kuno Prometheus, sosok yang terlepas dari tatanan teologis.

Bagian kedua, risalah yang ditulis oleh Professor Umar Ibrahim Vadillo yang membongkar pelbagai aspek filsafat Barat yang lahir dari rahim Renaisans itu melalui pendekatan Heidegger. Naskah Vadillo itu merupakan kompilasi bahan-bahan kuliah yang diberikannya di Dallas College, Cape Town, Afrika Selatan, tempatnya mengajar. Vadillo mencuplik banyak pendapat Heidegger yang menyerang pilar-pilar bangunan filsafat Barat itu.

Jadilah, membaca ini, kita dibawa pada pemahaman, betapa dunia saat ini telah didominasi oleh kekacauan berpikir. Menurut Heideger, filsafat Barat sama sekali tidak dapat memikirkan tentang kebenaran. Bahkan, sains yang diagungkan sebagai cara berpikir, sejatinya sama sekali tidak berpikir. Yang terjadi, menurut Heidegger, hanya seolah-oleh berpikir.

Lantas, bila filsafat telah mati dan dunia dijangkiti kekacauan berpikir, lalu apa yang bisa menggantikannya? Sayang, Heidegger tidak memberi jawaban atas pertanyaan ini. Sang filosof, justru meninggalkan masalah baru setelah menyatakan filsafat telah tamat riwayatnya. Namun ketiadaan jawaban itu justru sekaligus membuka jawaban baru. Setelah kematian filsafat, Bewley dan Vadillo memberi jawaban bahwa hanya Islam sebagai satu-satunya pilihan. “Berpikir bersama Heidegger adalah berpikir pada ujung pemikiran,” kata Vadillo. Ujung pemikiran Heidegger yang dimaksud Vadillo adalah Islam.

Di mata Vadillo, pandangan Heidegger penting dipahami umat Islam dewasa ini. Tak soal meski Heidegger sendiri bukan seorang muslim dan tentunya memang tidak mungkin mendapatkan jawaban tentang Islam dari Heidegger. Namun, bagi Vadillo, pandangan Heidegger, pada tingkatan tertentu, sedang berbicara tentang Islam, meski boleh jadi Heidegger sendiri tidak menyadari akan hal tersebut (hal. 41). Bukan sebuah kebetulan kalau buku ini menyebut Islam sebagai pilihan. Vadillo mengedepankan prinsip-prinsip spiritualitas Islam sebagai ukuran menemukan kebenaran universal. Dalam penjabaranya, Islam punya sistem dan syariah, sesuatu yang tidak dimiliki filsafat. Islam menjadi pilihan, sejatinya tidak hanya untuk umat Islam namun juga bagi peradaban Barat sendiri. “Setelah Heidegger menutup kedai filsafat, hanya Islam yang dapat mengambil alih. Satu-satunya takdir terakhir bagi pemikiran dunia Barat, bahkan dunia barat itu sendiri, adalah Islam.” (hal. 42). 

Januari 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Senjakala Uang Kertas

golddinarjpeg.jpg‘We have gold because we cannot trust Government” (Pernyataan Herbet Hoover dihadapan Presiden Rosevelt, tahun 1933)

Judul Buku: Gold Dinar, Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan
Penulis: M. Luthfi Hamidi, MA
Kata Pengantar: Dr. Mustofa Edwin Nasution
Penerbit: Senayan Abadi Publishing
Cetakan: 1, Februari 2007
Tebal: xxv + 221 halaman

TAHUKAH Anda, uang kertas dalam saku Anda menyimpan banyak persoalan? Ini bukan cuma soal betapa sulit mendapatkannya, namun lebih karena pada lembar-lembar uang kertas itu tersimpan masalah ekonomi dan politik berskala global. Di balik carikan uang kertas, bahkan, terdapat konspirasi, tarik-menarik kekuasaan yang membuat timpang wajah percaturan ekonomi dan politik dunia saat ini.  

Buku Gold Dinar, Sistem Moneter yang Stabil dan Berkeadilan, yang ditulis oleh M. Luthfi Hamidi, ini mengurai carut-marut wajah moneter dunia sejak sistem mata uang kertas diperkenalkan lalu diterima masyarakat dunia sebagai alat traksaksi yang final. Berbekal data dan kajian mendalam, Luthfi memapar sejumlah potret ketimpangan ekonomi yang melanda negara-negara dunia ketiga akibat penerimaan mereka terhadap sistem mata uang kertas (fiat money) itu. Fiat money adalah penggunaan mata uang berbasis kertas yang diterbitkan pemerintah suatu negara tanpa disokong logam mulia (emas dan perak).

Menurut Luthfi, penggunaan uang kertas sebagai alat transaksi moneter internasional itu telah membuka ruang bagi munculnya penjajahan baru dan salah satu biang ketidakadilan moneter di dunia. Melalui mata uang kertas, sebuah negara dapat menjajah, menguasai, bahkan melucuti kekayaan negara lain. Negara yang memiliki nilai mata uang kertas lebih kuat menekan negara lain yang mata uang kertasnya lebih lemah.

Contoh nyata penjajahan melalui mata uang itu terlihat dalam penggunaan uang kertas dolar Amerika Serikat (AS) yang diterima oleh 60 persen penduduk bumi. Inilah ironi terbesar dunia saat ini, menurut Luthfi. Dolar yang terdistribusi secara luas menempatkan AS pada tempat istimewa. Melalui dolar–mata uang yang tak berbasis pada emas itu–AS mengeksploitasi, memajaki warga dunia dengan mengalihkan beban inflasi yang ditanggungnya pada seluruh pemakai dolar di seantero dunia. Negara-negara ketiga didera krisis ekonomi berkepanjangan lantaran harus membayar inflasi yang ditimbulkan oleh penggunaan uang kertas tersebut.

Bukan itu saja. Ketidakadilan juga tersimak saat negara-negara ketiga menyerahkan pelbagai komoditas mereka seperti minyak, kayu dan kekayaan alam lainnya sementara AS cukup menukar semua komoditas itu dengan uang kertas yang bisa dicetaknya kapan saja. Nah, menurut buku ini, sepanjang dolar tetap dipakai dalam pelbagai transaksi moneter internasional, ketimpangan moneter dan krisis ekonomi akan terus melanda negara-negara ketiga. Lantas, bagaimana bila mau terbebas dari ketidakadilan moneter dan krisis ekonomi tersebut? Caranya: sistem moneter internasional saat ini yang didominasi uang kertas itu–dolar dan mata uang kertas kuat lainnya seperti euro dan yen–harus mendapat alternatif lain. Apa itu? Pilihan Luthfi jatuh pada mata uang dinar emas (gold dinar).

Dinar emas yang dimaksud adalah mata uang berupa kepingan koin berbahan baku emas 22 karat seberat 4,25 gram. Kendati disebut dinar, kata itu sejatinya sudah dikenal jauh sebelum Islam datang. Di mata Luthfi, inilah mata uang sejati. Pada dinar terdapat kestabilan nilai dan keadilan moneter karena mata uang tersebut berbasis komoditas (commodity currency). Dinar bernilai karena kandungan emas yang dimilikinya (intrinsik). Dinar tidak terikat keputusan politik apapun. Ini berbeda dengan mata uang kertas yang dianggap bernilai karena sebaris angka dicetakkan di atas kertasnya (ekstrinsik) lalu mendapat pengesahan pemerintah (negara).

Argumentasi kembali ke dinar emas tidak sampai di situ. Buku yang ditulis berdasarkan tesis yang diraih Luthfi di Markfield Institute, Inggris (2005) ini membentangkan pelbagai data berikut analisis seputar keunggulan mata uang dinar emas dan kerapuhan sistem mata uang berbasis uang kertas. Mengedepankan sejumlah variabel dan mengutip analisis para pakar ekonomi dunia, Luthfi tiba pada kesimpulan bahwa mata uang dinar emas terbukti lebih unggul dari mata uang kertas manapun. Penggunaan mata uang berbasis kertas (fiat money) patut ditinggalkan dan dinar emas (gold dinar) harus dikembalikan ke posisi terhormat sebagai mata uang internasional. (Lihat Bab II: Fiat Money atau Emas?)

Berikutnya, pada bab Gold Dinar dan Fungsi Uang Universal, pembaca diajak memahami universalitas emas. Dinar yang berbasis emas adalah mata uang yang mandiri dan sejarah telah membuktikan betapa mata uang itu dikenal sebagai extra ordinary currency yang anti-inflasi. Bahkan, dinar emas tidak terikat oleh kekuasaan politik manapun. Sebuah pemerintahan atau negara bisa jatuh dan uang kertas yang dicetak sebuah negara bisa kadaluarsa atau mengalami kemerosotan nilai. Namun, uang koin emas tetap beredar dan dihargai sesuai nilai pasar. Bukan negara yang membuat emas bernilai, melainkan pasar. (hlm. 79)

Dalam sejarah, koin dinar emas terbukti diterima sebagai alat moneter universal. Ribuan tahun lamanya masyarakat dunia dari pelbagai peradaban memilih mata uang ini sebagai alat tukar dalam aneka praktik keuangan. Selama ribuan tahun pula, perdagangan dunia menganut konsep bimetalisme, kebijakan moneter berbasis emas dan perak. Imperium Romawi menggunakan denarius, mata uang berupa koin emas bergambar Hercules bersama dua putranya, Herculyanoos dan Qustantine. Di Cina dikenal qian, mata uang yang juga berbasis logam.

Sementara itu, penggunaan fiat money baru dikenal pada abad 20 ini. Penandanya, saat sistem Bretton Woods ambruk pada 1944. Emas yang selama ribuan tahun menjadi standar mata uang (classical gold standard) diganti dengan sistem kurs mengambang (flexible excange rate) yang sama sekali tak lagi bersandar pada emas. Dunia kemudian hanya mengenal satu mata uang kertas yang mendominasi perdagangan dan menjadi pilihan mengisi cadangan devisa oleh berbagai negara, yaitu dolar AS.

Ditinggalkannya emas sebagai standar moneter internasional bukan tanpa sebab lain. Luthfi mengungkapkan, penyingkiran emas sebagai standar moneter merupakan upaya sistemik. Mengutip pernyatan Robert Mundel, peraih Nobel Ekonomi, emas mengalami marginalisasi karena konspirasi internasional. Salah satunya melalui penciptaan aset Special Drawing Right (SDR) yang diciptakan International Moneter Fund (IMF). Seperti dolar, SDR sebelumnya didukung oleh emas namun lambat laun setelah harga emas melesat naik pada 1970-an, garansi emasnya dicabut. (hlm. 148)

Buku yang ditulis Luthfi ini melengkapi langkanya literatur yang mengulas mata uang berbasis emas sebagai mata uang alternatif dalam usaha perbaikan wajah ekonomi dunia yang lebih berkeadilan. Boleh dikata, telaah mendalam seputar mata uang emas ini tak banyak dilakukan oleh pengamat atau pakar ekonomi kontemporer. Untuk menyebut beberapa, topik serupa terdapat dalam buku Jerat Utang IMF? karya Abdurrazaq Lubis (1998), Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter oleh Ismail Yusanto, et.al (2001), serta Lawan Dolar dengan Dinar (2003) dan Kembali ke Dinar (2004)–keduanya buah pena Zaim Saidi.

Beberapa buku itu tampil dengan sudut pandang berbeda dalam memandang keberadaan dinar, namun dalam semangat yang sama: dunia perdagangan harus kembali pada mata uang berbasis emas, bukan fiat money.

Adakah gagasan mereka ini hanya sebuah utopia? Faktanya, tidak. Menyadari kelemahan fiat money, kesadaran kembali pada mata uang berbasis logam mulia ini sudah bertumbuh di pelbagai belahan dunia. Pamor dinar yang meredup kembali dihidupkan oleh Syaikh Dr Abdalqadr as-Sufi, seorang tokoh sufi asal Skotlandia. Di Eropa, gagasan kembali menggunakan dinar emas digaungkan oleh Umar Ibrahim Vadillo, penulis buku Return of The Gold Dinar (1991). Bahkan, koin dinar emas telah kembali dicetak oleh Islamic Mint Spanyol dan telah diedarkan sebagai alat transaksi dalam World Islamic Trading Organization (WITO).

Beberapa negara juga telah melakukan transaksi perdagangan dengan dinar emas seperti yang dimulakan Malaysia dan Iran. Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad adalah satu-satunya pemimpin negara yang berani mengatakan dinar harus dikembalikan sebagai alat perdagangan internasional. Di Indonesia, belum terlihat keberanian pemimpinnya.

Kendati tak banyak mendapat dukungan pemerintah, gagasan kembali ke dinar di Indonesia bertumbuh di tengah masyarakat. Di beberapa kota, telah berdiri sejumlah wakala, gerai pembelian dinar. Di Indonesia, sejak tahun 2001, mata uang dinar dicetak oleh PT. Logam Mulia, anak perusahaan PT. Antam Tbk dan diedarkan oleh Islamic Mint Nusantara.

Januari 2003, terbentuk pula Forum Penggerak Dinar Dirham Indonesia (FORINDO) yang menandatangani Deklarasi Gerakan Internasional Gold Dinar dan International Silver Dirham. Forum ini terdiri dari Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Murabitun Nusantara, Permodalan Nasional Madani (PNM), Yayasan Dinar Dirham, Pusat Inkubasi Usaha Kecil Menengah (PINBUK), Wakala Adina, Forum Zakat Nasional, Asosiasi Bank Syariah Indonesia dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Selain untuk transaksi keuangan, dinar digunakan untuk mahar, zakat, tabungan haji dan investasi.

Buku Gold Dinar–juga beberapa buku lainnya–memberi peyakinan, bila dinar tegak sebagai alat moneter internasional, sebuah tatanan kehidupan perekonomian baru yang lebih stabil dan berkeadilan bukan utopi. Gagasan kembali pada dinar emas yang diusung buku ini berangkat dari kesadaran mengoreksi sistem moneter uang kertas yang menimbulkan kepincangan ekonomi global. Nah, bila proposal gold dinar terlaksana, ini bisa menjadi bentuk reformasi moneter yang akan mempengaruhi lanskap baru moneter dunia. (hlm. 180). Buku ini patut dibaca para praktisi dan pengamat ekonomi untuk mendapatkan sudut pandang berbeda dalam mengatasi keruwetan ekonomi Indonesia dan dunia hari ini.

(Emil W.  Aulia,  Koran Tempo,  Minggu, 27 Juni 2007)

Januari 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Gemerincing Dinar dalam Buku

dinarbuku.jpg

TUJUH tahun lalu PT Logam Mulia, anak perusahaan Aneka Tambang, resmi mencetak dan mengedarkan koin dinar emas dan dirham perak di Indonesia. Kehadiran koin-koin yang dikenal sebagai mata uang di era kejayaan Islam tempo doeloe itu segera mengundang sorotan, utamanya dari para cendekia di Tanah Air yang berkecimpung dalam studi ekonomi Islam.

Seiring dengan itu, penerbitan buku-buku seputar keberadaan koin-koin tersebut pun menggeliat. Sedikitnya ada selusin buku terbit sepanjang era reformasi ini. Paling banyak pada 2007. Hingga September saja lima buku telah diluncurkan: Gold Dinar, Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan karya M. Luthfi Hamidi (Senayan Abadi Publishing); Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar & Dirham oleh Muhaimin Iqbal (Spiritual Learning Centre); Satanic Finance, True Conspiracies karangan A. Riawan Amin (Celestial Publishing); Kemilau Investasi Dinar Dirham oleh Sufyan Al-Jawi (Pustaka Adina); dan Ilusi Demokrasi, Kritik dan Otokritik Islam karangan Zaim Saidi (Republika).

Kelima buku itu senapas: menelisik hakikat, plus-minus antara koin dinar-dirham dan uang kertas (fiat money). Telaah berpusat pada dua hal, yakni mengkritik struktur keuangan moderen kekinian serta mengoreksi penggunaan uang kertas yang kini jamak berlaku di seluruh negara di dunia. Perbedaan kelima buku itu lebih pada argumentasi dan fakta yang disusun para penulisnya, merujuk latar belakang pendidikan dan pekerjaan mereka yang beragam.

Kendati berbeda dalam argumentasi dan cara menguraikan, kelima buku itu sampai pada kesimpulan yang sama: mata uang dinar-dirham memiliki banyak keunggulan dari uang kertas, sebab itu mata uang dinar-dirham patut dikedepankan, mengganti mata uang kertas yang kita kenal saat ini, entah itu rupiah, yen, euro, ringgit, poundsterling, atau dolar AS.

Dinar punya kelebihan karena ia mata uang riil (commodity currency). Disebabkan terbuat dari logam mulia, dinar lebih stabil, mampu menghadapi tekanan inflasi dan gejolak kurs. Sebaliknya, uang kertas adalah uang hampa karena ia tak lebih sekedar kertas cetakan belaka yang dikeluarkan tanpa disokong nilai emas dan perak. Ia bernilai hanya karena diberi angka melalui pemaksaan negara. Lantaran tidak berbasis emas, uang kertas rentan spekulasi dan inflasi.

Disebabkan mengandung emas pula, dinar adalah mata uang universal. Sejarah dan peradaban mengakuinya. Potonglah sekeping dinar emas menjadi bagian-bagian kecil, seluruh bagiannya tetap berharga. Tapi guntinglah selembar uang kertas, maka ia sama sekali tak akan berguna.

Dijabarkan pula, penggunaan uang kertas adalah bagian dari praktik imperialisme ekonomi moderen yang berbasis riba (usury). Uang kertas adalah salah satu pilarnya. Kelima buku tersebut sepakat, riba adalah jiwa bangunan ekonomi modern yang menguasai sistem keuangan dunia kita saat ini. A. Riawan Amin menyebut uang kertas sebagai “pilar setan” yang mengokohkan berdirinya “satanic finance“. Pilar lainnya adalah pengucuran utang (credit) dan memungut bunga (interest). Mesinnya adalah perbankan. Sebagai sebuah sistem yang terstruktur, riba (perbankan) bekerja secara global untuk memiskinkan umat manusia.

Kehadiran kelima buku itu memperkaya kepustakaan dinar-dirham yang ditulis cendekiawan asal Indonesia. Sebelumnya, lebih dulu terbit Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter, hasil kerja sama PIRAC dan SEM Institute (1999). Buku ini kumpulan makalah dari seminar bertajuk serupa.

Aktivis lembaga swadaya masyarakat Zaim Saidi termasuk yang getol menulis topik dinar-dirham. Sebelum merilis Ilusi Demokrasi, ia telah meluncurkan tiga buku bertema serupa, yaitu Lawan Dolar dengan Dinar dan Kembali ke Dinar (2004). Menyusul kemudian Tidak Islamnya Bank Islam, yang ditulisnya bersama Imran N. Hosein (2005). Tak hanya menulis, Zaim juga mendirikan Wakala Adina, sebuah gerai pembelian dinar-dirham di Depok, Jawa Barat yang bisa diakses publik.

Kepustakaan dinar bertambah saat beberapa buku penulis asing turut diterjemahkan. Sebut, misalnya, Discredit Interest Debt, The Instrument of World Enslavement karangan Abdur-razzak Lubis, yang terbit di Malaysia dan diterjemahkan menjadi Jerat Utang IMF (Mizan, 1998). Lalu buku Raising A Fallen Pillar karangan dua pemikir muslim asal Inggris, Abdalhaqq Bewley dan Abdal-Hakim Douglas, yang dialihbahasakan menjadi Menegakkan Pilar yang Runtuh (Adina, 2004). Menyusul Al-Auraqal-Naqdiyah fi al-Iqtishad al-Islami karangan Dr Ahmad Hasan, sarjana Universitas Damaskus, yang diterjemahkan menjadi Mata Uang Islami, Telaah Konfrehensif Sistem Keuangan Islami (Raja Grafindo, 2005).

Geliat penerbitan buku-buku bertema dinar boleh disebut sebagai imbas gerakan kembali ke dinar-dirham yang bergaung dari Eropa. Pamor dinar yang meredup seiring kejatuhan Kekhalifahan Osmani di Turki pada 1920 kembali dihidupkan oleh Syeikh Dr Abdalqadir as-Sufi. Pada 18 Agustus 1991 tokoh sufi asal Skotlandia ini mengeluarkan fatwa haram penggunaan uang kertas sebagai alat tukar.

Salah seorang murid Syeikh, Umar Ibrahim Vadillo, kemudian memimpin gerakan Murabitun Internasional yang giat menyerukan kembali penggunaan dinar-dirham di Eropa bahkan ke seluruh dunia. Vadillo menulis banyak buku tentang dinar. Salah satu yang paling banyak dirujuk adalah Return of the Gold Dinar (Madinah Press, 1996). Buku ini memuat penjelasan lengkap seputar sejarah dinar-dirham dan bagaimana uang kertas memengaruhi harga-harga.

Hingga dinar-dirham dicetak kembali pada 1992 di Granada, Spanyol, dan diedarkan oleh Islamic Mint Spanyol, spesifikasinya mengikuti standar yang ditetapkan Khalifah Umar Bin Khatab. Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram, sementara dirham adalah perak sterling seberat 2,975 gram. Selain Spanyol dan Indonesia, dinar-dirham juga telah dicetak di Skotlandia, Jerman, Afrika Selatan, Dubai, dan Malaysia. Layaknya mata uang, kini dinar dan dirham digunakan sebagai alat tukar perdagangan, sarana investasi dan pembayaran upah. Penggunaan yang lain adalah sebagai zakat, mahar perkawinan, dan cindera mata.

Buku-buku bernapas dinar yang telah terbit sejatinya bukan sekedar kumpulan teks semata, melainkan “buku perjuangan”. Buku-buku itu menyuarakan perlawanan terhadap sistem ekonomi liberal kapitalistik yang saat ini menguasai dunia. Usai membacanya, kita dihadapkan pada dua pilihan: berdamai dengan sistem keuangan yang berlaku sekarang dengan segala bencana yang ditimbulkannya atau memilih aturan baru yang sama sekali berbeda untuk menyelamatkan keadaan.

(Emil W. Aulia, Koran Tempo, Minggu, 31 Desember 2007)

Januari 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar